Ya, apa yang Anda bayangkan andaikata Indonesia mendapatkan tiket gratis di Final Sepakbola Piala Dunia? Pertama kali, Penulis yakin, Anda pasti berfikir hal itu tidak mungkin terjadi. Selanjutnya, Anda tidak mau membayangkan apa yang terjadi karena ketidak mungkinan tersebut.
Lepaskan pikiran dari faktor ketidak mungkinan tersebut. Bahwa setidaknya tuan rumah mendapatkan tiket gratis di putaran final adalah fakta bahwa tiket gratis putaran final memungkinkan sebuah negara masuk pada putaran final tanpa harus melalui babak pra-kualifikasi. Jadi masih terbuka kemungkinan tiket gratis dari sisi pandang yang berbeda. Taruhlah di FIFA sendiri terjadi perdebatan seru yang menyebabkan keputusan untuk memberikan tiket gratis ke Indonesia diambil 1 tahun menjelang Babak Final Piala Dunia diselenggarakan.
Nah, apa yang mungkin terjadi dengan kita? Pertama, tentu sebagai bangsa, kita akan bersuka cita atas kesempatan yang diberikan FIFA –kepada kita. FIFA, adalah satu-satunya organisasi persepakbolaan dunia yang diakui semua negara di dunia. Tentu suatu saat dimasa datang tidak hanya FIFA saja yang menaungi persepakbolaan dunia.
Sebagai rasa terima kasih, tidak ada salahnya kita memberikan hadiah khusus pada Sep Blatter - boss-nya FIFA atas jasa Beliau memberikan kesempatan emas ini pada bangsa Indonesia. Kalau perlu kita carikan gadis Indonesia yang mau dikawin kontrak dengan Sep Blatter. Bukankah kata Wakil Presiden kita, lumayan kalau ada kawin kontrak. Seusai kontrak Si Janda bakal memiliki rumah yang bagus, dan keturunan yang memiliki gen lebih baik dari bangsa kita sendiri. Bila kelak sudah cukup umur, “anak Indo” ini bisa kerja menjadi pemain sinetron yang laris (Ah, pantas Pak Wapres didemo saudara-saudara kita dari Cianjur, karena merasa tersinggung).
Selanjutnya, kita harus memasukkan anggaran tambahan dalam RAPBN-T untuk proyek ini. Anggap saja nama proyek ini “PSSI Go Wold Cup”. Jadi perlu ada rekening khusus untuk mensukseskannya. Pak Menteri Keuangan perlu menanyakan pada Menteri Pemuda dan Olah Raga berapa anggaran yang dibutuhkan dan digunakan untuk kegiatan apa saja. Pak Menteri Keuangan pasti menginginkan rincian kegiatan sedetail mungkin, agar audit penggunaan dana nantinya bisa dilakukan dengan tepat.
Jelas Menteri Pemuda dan Olah Raga tidak bisa bekerja sendirian. Pak Menteri pasti harus berkoordinasi dengan KONI. Selanjutnya KONI-pun juga harus rapat dulu dengan PSSI. Mengingat program ini sangat serius, PSSI tidak bisa langsung membuat proposal usulan.
PSSI perlu membuat Tim Kajian, dan Tim ini harus melakukan studi banding pada negara-negara yang suskes membawa timnya di pentas bergengsi ini. Negara yang dikunjungi tidak bisa hanya satu. Harus ada beberapa negara yang mewakili geografis masing-masing benua. Maka studi banding dilakukan ke Mesir sebagai wakil Afrika, siapa tahu sepak bola sudah dikenal sejak jaman Pharaoh membangun piramid? Jadi PSSI bisa belajar perkembangan persepakbolaan sejak jaman Mesir Kuno.
Negara kedua yang harus di kunjungi adalah Perancis. Perancis dilipih karena negeri ini adalah finalis Piala Dunia 2006 (atau bahkan tadi malam juara ya?). Juga Perancis mampu menyandingkan kekuatan sepakbola dengan dunia fashion. Bangsa Indonesia yang kata Bung Karno memiliki cita rasa seni sangat tinggi patut melakukan komparasi dengan Perancis.
Negara ketiga, Australia. Australia merupakan negeri surga bagi para orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya di negara yang berbasis bahasa Inggris, dengan kualitas pendidikan tinggi. Juga Australia mampu membawa kesebelasannya ke babak 16 besar Piala Dunia 2006. Jadi Tim dapat mempelajari bagaimana pendidikan berkualitas tinggi memiliki kontribusi terhadap kemajuan persepakbolaan. Syukur-syukur bisa mampir menjenguk anak.
Negara keempat masih dalam perdebatan, apakah Korea Selatan, atau Singapura? Tim masih berfikir keras, apa alasan pembenar bila harus ke Korea, atau Singapura. Tim harus sowan dulu ke Ketua PSSI, barangkali ada titipan jawaban atas kedua pilihan tersebut. Sayang Ketua PSSI hanya bisa dikunjungi pada siang hari. Dan waktunyapun terbatas, sesuai dengan jam bezuk Lembaga Pemasyarakatan.
Selanjutnya, Tim juga harus melakukan fit & proper terhadap calon Pelatih yang akan menangani kesebelasan Nasional tersebut. Guss Hiddink merupakan kandidat kuat. Sosok ini dipilih karena telah suskes membawa Korea Selatan menjadi 8 besar kesebelasan dunia pada tahun 2002, dan membawa Australia ke 16 besar tahun ini. Juga bagi sebagian orang Indonesia, Gus Hiding dianggap masih saudara dengan Gus Dur, atau Gus Mus. Kalau sudah ada hubungan darah, hubungan kesukuan, apalagi sesama putra daerah. Semuanya menjadi lebih gampang diatur.
Dalam hitung-hitungan, untuk urusan proposal anggaran, studi banding sampai keputusan diperlukan waktu setidaknya 6 bulan. Tinggalah waktu tersisa 6 bulan untuk persiapan teknis. Pilihan calon pemainpun dibuka, surat-surat titipan calon yang sebelumnya menumpuk mulai disortir berdasarkan jabatan penulis surat. SMS – seperti “idol-idol” mulai ditayangkan ke televisi.
Latihan bak sangkuriang segera diprogramkan. “Tim sukses” mulai dibuat. Tinggalah melangkah ke medan laga. Sayang…. Meskipun telah dilakukan berbagai cara dan upaya, baik halal maupun haram, baik melalui latihan keras, maupun bantuan dukun telah dilakukan. Tetap saja kesebelasan kita tidak mampu menghasilkan gol, bahkan kita selalu memecahkan rekor, kemasukan gol paling banyak sepanjang sejarah Piala Dunia. Inipun sepanjang pertandingan ke 11 pemain nongkrong di daerah pinalti kita sendiri!
(Sudarmono Moedjari , Ketua I STIKOM Al Khairiyah, Anggota PD Muhammadiyah Cilegon, alamat email: darmono@kit.co.id, 10/7/2006)
Selasa, 17 Juni 2008
Rabu, 11 Juni 2008
Generasi Emas dari Negeri Busung Lapar
"Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin menjadi profesor di universitas Amerika Serikat" begitulah tekad Sang Tokoh ketika masih bau kencur. Usia dimana teman-teman sebayanya masih asyik bermain kelereng dan petak umpet. Dan cita-cita yang bagi sebagian besar bangsa ini dianggap terlalu ambisius, tidak masuk akal, dan cenderung “gila”.
Tetapi tidak! Berbeda dengan lingkungan sebangsanya, tekad tersebut tidak hanya sekedar ditancapkan, kemudian ditinggal tidur untuk mencari mimpi yang lebih indah, sambil melupakan cita-cita terdahulu. Tidak! Sang tokoh konsisten dengan cita-cita tersebut. Upaya dilakukan dengan tekun dan bekerja keras. Sang Tokoh berusaha menapak impiannya untuk menjadi kenyataan hidup. Buku-buku kelas dunia mulai ia baca. Biogarfi Albert Einstein, Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann menjadi mainan anak kecil ini. Dari bacaan tersebut terpampang impian untuk meniru langkah-langkahnya. Albert Einstein bapak teori relatifitas masa dan energi, pemenang hadiah Nobel Fisika tahun 1905-an menjadi inspirator utama Sang Tokoh. "Mereka orang-orang hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi Guru Besar, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu"
Semangatnya yang tinggi, tekun, visioner, dan selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah risetdan dunia akademisinya membuat Sang Tokoh mendapatkan puluhan penghargaan dan beasiswa. Usai menyelesaikan sekolah di SMU Sutomo 1 Medan, Sang Tokoh terbang ke AS, melanjutkan pendidikan S1, S2, dan S3 di University of Wisconsin Madison. Amerika Serikat. Salah satu universitas yang prestisius di Amerika Serikat. Disinilah kiprah mendunia Sang Tokoh mulai diukir.
Riset-riset dan penelitian dasar mulai ia tekuni. Puluhan hasil risetnya dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Dia sering diundang menjadi pembicara utama danpenceramah di berbagai seminar. Paling sering terutama menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan intelektual, konferensi, dan seminar di Washington DC. Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain diAS. Bahkan, dia sering pergi ke mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia.
Kiprah penemuannya ditorehkan dalam tiga hasil karya ilmiah yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure, optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Penemuan-penemuan yang di negara-negara majupun masih sangat dihormati. Di tengah kesibukannya melakukan riset-riset tersebut, dua bukukarya Sang Tokoh sedang dalam proses penerbitan. Kedua buku tersebutmerupakan buku teks wajib bagi mahasiswa S-1 di Negeri Paman Sam.
Prestasinya selama menyelesaikan pendidikan S1, S2, dan S3 menghantarkan Sang Tokoh menjadi “rebutan” universitas papan atas di negeri Paman Sam. Bila Sang Tokoh memilih Lehigh University, salah satu universitas ternama di AS, hal itu karena universitas ini mengalokasikan anggaran riset yang sangat menjanjikan. Prasyarat yang selalu menjadi idaman para peneliti.
Tidak perlu waktu yang panjang untuk meraih puncak prestasi yang lebih tinggi. Hanya dalam beberapa waktu Sang Tokoh telah melejit menjadi Guru Besar di Universitas ini, menyisihkan 300 Doktor terkemuka di AS. Dan yang patut dicatat, semua prestasi tersebut diraih ketika usia Sang Tokoh belum genap 26 tahun! Dengan usia semuda itu, menghantarkan Sang Tokoh menjadi Guru Besar termuda di Amerika Serikat! Prof Nelson Tansu PhD! Lahir 20 Oktober 1977, diangkat menjadi Assistant Professor beberapa tahun lalu. Dan patut dibanggakan, sampai sekarang Sang Tokoh masih memegang paspor hijau berlambang garuda! "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya” Demikian prinsip hidup Sang Tokoh.
Bila orang Turki menganggap Prof Nelson Tansu PhD masih famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri(PM) Turki sehingga dengan bangga mencantumkan nama profesor muda ini dalam berbagai websitenya. Atau bila bangsa Jepang juga menganggap Tansu adalah warga negaranya (karena nama Tansu mirip nama-nama warga Jepang), dan dengan bangga mengajak “pulang” kampung untuk mengajar negerinya. Atau orang Taiwan menganggap Tansu berasal dari kata Tan Shu. Atau orang Afika Selatan juga mengakui Sang Tokoh warga Afrika Selatan, karena nama Nelson. Tentu Sang Tokoh benar-benar orang yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa besar di dunia ini. Tetapi syukurlah Sang Tokoh masih betah mempertahankan paspor Burung Garuda "Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia"
Inilah Prof Nelson Tansu PhD, Fenomena Generasi Emas dari Negeri Busung Lapar! Negeri yang tidak pernah mencoba memberikan tempat bagi mereka yang visioner. Negeri yang tidak cukup memberikan kepedulian pada kualitas generasi yang akan datang.
(Sudarmono.Moedjari, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, pemerhati teknologi dan budaya, 20 Juni 2005)
Tetapi tidak! Berbeda dengan lingkungan sebangsanya, tekad tersebut tidak hanya sekedar ditancapkan, kemudian ditinggal tidur untuk mencari mimpi yang lebih indah, sambil melupakan cita-cita terdahulu. Tidak! Sang tokoh konsisten dengan cita-cita tersebut. Upaya dilakukan dengan tekun dan bekerja keras. Sang Tokoh berusaha menapak impiannya untuk menjadi kenyataan hidup. Buku-buku kelas dunia mulai ia baca. Biogarfi Albert Einstein, Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann menjadi mainan anak kecil ini. Dari bacaan tersebut terpampang impian untuk meniru langkah-langkahnya. Albert Einstein bapak teori relatifitas masa dan energi, pemenang hadiah Nobel Fisika tahun 1905-an menjadi inspirator utama Sang Tokoh. "Mereka orang-orang hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi Guru Besar, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu"
Semangatnya yang tinggi, tekun, visioner, dan selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah risetdan dunia akademisinya membuat Sang Tokoh mendapatkan puluhan penghargaan dan beasiswa. Usai menyelesaikan sekolah di SMU Sutomo 1 Medan, Sang Tokoh terbang ke AS, melanjutkan pendidikan S1, S2, dan S3 di University of Wisconsin Madison. Amerika Serikat. Salah satu universitas yang prestisius di Amerika Serikat. Disinilah kiprah mendunia Sang Tokoh mulai diukir.
Riset-riset dan penelitian dasar mulai ia tekuni. Puluhan hasil risetnya dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Dia sering diundang menjadi pembicara utama danpenceramah di berbagai seminar. Paling sering terutama menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan intelektual, konferensi, dan seminar di Washington DC. Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain diAS. Bahkan, dia sering pergi ke mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia.
Kiprah penemuannya ditorehkan dalam tiga hasil karya ilmiah yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure, optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Penemuan-penemuan yang di negara-negara majupun masih sangat dihormati. Di tengah kesibukannya melakukan riset-riset tersebut, dua bukukarya Sang Tokoh sedang dalam proses penerbitan. Kedua buku tersebutmerupakan buku teks wajib bagi mahasiswa S-1 di Negeri Paman Sam.
Prestasinya selama menyelesaikan pendidikan S1, S2, dan S3 menghantarkan Sang Tokoh menjadi “rebutan” universitas papan atas di negeri Paman Sam. Bila Sang Tokoh memilih Lehigh University, salah satu universitas ternama di AS, hal itu karena universitas ini mengalokasikan anggaran riset yang sangat menjanjikan. Prasyarat yang selalu menjadi idaman para peneliti.
Tidak perlu waktu yang panjang untuk meraih puncak prestasi yang lebih tinggi. Hanya dalam beberapa waktu Sang Tokoh telah melejit menjadi Guru Besar di Universitas ini, menyisihkan 300 Doktor terkemuka di AS. Dan yang patut dicatat, semua prestasi tersebut diraih ketika usia Sang Tokoh belum genap 26 tahun! Dengan usia semuda itu, menghantarkan Sang Tokoh menjadi Guru Besar termuda di Amerika Serikat! Prof Nelson Tansu PhD! Lahir 20 Oktober 1977, diangkat menjadi Assistant Professor beberapa tahun lalu. Dan patut dibanggakan, sampai sekarang Sang Tokoh masih memegang paspor hijau berlambang garuda! "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya” Demikian prinsip hidup Sang Tokoh.
Bila orang Turki menganggap Prof Nelson Tansu PhD masih famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri(PM) Turki sehingga dengan bangga mencantumkan nama profesor muda ini dalam berbagai websitenya. Atau bila bangsa Jepang juga menganggap Tansu adalah warga negaranya (karena nama Tansu mirip nama-nama warga Jepang), dan dengan bangga mengajak “pulang” kampung untuk mengajar negerinya. Atau orang Taiwan menganggap Tansu berasal dari kata Tan Shu. Atau orang Afika Selatan juga mengakui Sang Tokoh warga Afrika Selatan, karena nama Nelson. Tentu Sang Tokoh benar-benar orang yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa besar di dunia ini. Tetapi syukurlah Sang Tokoh masih betah mempertahankan paspor Burung Garuda "Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia"
Inilah Prof Nelson Tansu PhD, Fenomena Generasi Emas dari Negeri Busung Lapar! Negeri yang tidak pernah mencoba memberikan tempat bagi mereka yang visioner. Negeri yang tidak cukup memberikan kepedulian pada kualitas generasi yang akan datang.
(Sudarmono.Moedjari, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, pemerhati teknologi dan budaya, 20 Juni 2005)
Jumat, 06 Juni 2008
Biografi Orang-orang Kalah
Semahal apakah sepatu Bally, sehingga orang sekelas Bung Hatta tidak mampu untuk membelinya? Atau… inilah “kelas” Bung Hatta dalam laku kesederhanaan dan kejujuran. Sebagai pemegang otoritas keilmuan dalam bidang ekonomi pada perguruan tinggi ternama di negeri Belanda, sebagai mantan orang nomor 2 di Indonesia, bahkan posisinya tidak pernah dapat ditandingi oleh siapapun (kecuali Soekarno) - sebagai proklamator NKRI, jangankan sepasang sepatu, apatah susahnya menjadi komisaris pabrik sepatu yang telah bertebaran di bumi pertiwi? Tinggal tilpun Menteri Perindustrian atau Ketua Kadin, jangankan menjadi komisaris, meminta saham kosongpun mereka dengan mudah akan mampu memenuhinya (tinggal mengeluarkan “surat sakti” saja kan Bu Menteri/Pak Ketua Kadin?).
Tetapi tidak, itu bukan kepribadian Hatta! Kejujuran, kedisiplinan, taat azas, setia pada prinsip, kejuangan pada negara, merupakan ruh inti pribadi Hatta. Mahasiswa UI tidak perlu repot-repot mencari patokan untuk mencocokkan jam tangan, cukup mereka mendengarkan sirine mobil dinas Sang Wapres pada pagi hari, mereka serta merta tahu bahwa waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB!
Bila jabatan Wapres telah Beliau tinggalkan, pantang baginya untuk meminta-minta tunjangan dan/atau pendapatan lain apapun selain gaji pensiunan sebagai pejabat tinggi negara, meskipun untuk laku ini anak-anak Sang Tokoh harus hidup sangat sederhana, bahkan pakaian seragam SD-pun hanya punya 3 stel untuk dipakai bergantian selama sepekan, tanpa punya cadangan, tanpa pembaharuan dalam beberapa tahun.
Setia pada prinsip meskipun berat resiko yang dihadapi Beliau tunjukkan saat beliau harus ditahan pada jaman menjadi mahasiswa di Belanda, ditahan sesaat setelah datang dari Belanda (1933-1934), dan puncaknya saat memutuskan untuk mundur dari kursi empuk dan terhormat: Wakil Presiden Republik Indonesia (11 Desember 1956). Mundur karena setia pada prinsip: demokrasi tidak bisa bersanding dengan otokrasi (kekuasaan mutlak), komunis tidak bisa bergandengan tangan dengan demokrasi.
Bila 10 tahun kemudian premis Beliau terbukti benar, Bung Karno gagal dalam menerapkan Demokrasi Terpimpin dan komunis harus berhadapan dengan seluruh komponen bangsa lainnya; darah berceceran di setiap sudut bumi pertiwi, Bung Karno harus lengser dengan tidak terhormat, rakyat harus sabar untuk terus menanggung derita kemiskinan yang tiada tara maka inilah jati diri kepiawaian Bung Hatta dalam membaca arah sejarah Indonesia. Kesalahan arah yang telah Beliau prihatinkan jauh hari sebelumnya, kesalahan arah yang telah Beliau ingatkan pada para pemimpin dan rakyat Indonesia semua, kesalahan arah yang memaksa Bung Hatta menentukan sikap untuk mundur dari jabatan terhormat Wakil Presiden RI.
Dengarkan apa pesan Bung Hatta, beberapa waktu setelah Beliau mengundurkan diri:
"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. …
Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu"
Pesan yang masih relevan untuk jaman ini, 47 tahun berselang. Entah sangking hebatnya pesan tersebut, atau kecerobohan pemimpin kita dalam mengelola negeri selama ini!
***
Kemenangan bagi orang-orang besar bukanlah tujuan akhir. Mereka lebih mengedepankan prinsip-prinsip hidup yang diyakini benar, meskipun kekalahan dan derita menghadang didepan. Baginya keberhasilan tujuan tidak harus didapat dari kemenangan dalam kontes jangka pendek.
Penulisan sejarah memang selalu berpihak pada mereka yang berkuasa. Kita seringkali tidak mengenal secara utuh tokoh-tokoh kalah atau mengalah. Banyak tokoh-tokoh kalah atau mengalah sadar untuk menuju puncak harus melewati rintangan-rintangan yang bahkan harus menabrak nilai-nilai luhur yang mereka pegang. Pada titik inilah mereka “menyerah” dan memberi kesempatan pada tokoh lain untuk melanjutkan cita-citanya, meskipun kadangkala harus mengorbankan idealisme, bahkan menjilat kanan-kiri. Seperti juga Hatta, mereka lebih memilih menorehkan sejarah dalam jangka panjang, untuk dikenang oleh mereka yang mau bercermin dalam mencari kebenaran sejati.
Kita tidak harus menjadi calon presiden, wakil presiden, direktur, manajer, untuk meneladani titi laku Sang Tokoh, saat ini selayaknya kita bisa meneladani Beliau, apapun posisi kita, jabatan kita, kekayaan kita. Nilai luhur kemanusiaan harus selalu melekat pada diri kita.
Bila sampai akhir hayatnya Bung Hatta hanya bisa sebatas mengkliping iklan sepatu Bally, biarlah ini dicatat sebagai bunga-bunga indah kehidupan kita! Sepenggal mutiara dari Biografi orang-orang kalah atau mengalah.
(Sudarmono Moedjari, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-187, 2/8/2004)
Tetapi tidak, itu bukan kepribadian Hatta! Kejujuran, kedisiplinan, taat azas, setia pada prinsip, kejuangan pada negara, merupakan ruh inti pribadi Hatta. Mahasiswa UI tidak perlu repot-repot mencari patokan untuk mencocokkan jam tangan, cukup mereka mendengarkan sirine mobil dinas Sang Wapres pada pagi hari, mereka serta merta tahu bahwa waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB!
Bila jabatan Wapres telah Beliau tinggalkan, pantang baginya untuk meminta-minta tunjangan dan/atau pendapatan lain apapun selain gaji pensiunan sebagai pejabat tinggi negara, meskipun untuk laku ini anak-anak Sang Tokoh harus hidup sangat sederhana, bahkan pakaian seragam SD-pun hanya punya 3 stel untuk dipakai bergantian selama sepekan, tanpa punya cadangan, tanpa pembaharuan dalam beberapa tahun.
Setia pada prinsip meskipun berat resiko yang dihadapi Beliau tunjukkan saat beliau harus ditahan pada jaman menjadi mahasiswa di Belanda, ditahan sesaat setelah datang dari Belanda (1933-1934), dan puncaknya saat memutuskan untuk mundur dari kursi empuk dan terhormat: Wakil Presiden Republik Indonesia (11 Desember 1956). Mundur karena setia pada prinsip: demokrasi tidak bisa bersanding dengan otokrasi (kekuasaan mutlak), komunis tidak bisa bergandengan tangan dengan demokrasi.
Bila 10 tahun kemudian premis Beliau terbukti benar, Bung Karno gagal dalam menerapkan Demokrasi Terpimpin dan komunis harus berhadapan dengan seluruh komponen bangsa lainnya; darah berceceran di setiap sudut bumi pertiwi, Bung Karno harus lengser dengan tidak terhormat, rakyat harus sabar untuk terus menanggung derita kemiskinan yang tiada tara maka inilah jati diri kepiawaian Bung Hatta dalam membaca arah sejarah Indonesia. Kesalahan arah yang telah Beliau prihatinkan jauh hari sebelumnya, kesalahan arah yang telah Beliau ingatkan pada para pemimpin dan rakyat Indonesia semua, kesalahan arah yang memaksa Bung Hatta menentukan sikap untuk mundur dari jabatan terhormat Wakil Presiden RI.
Dengarkan apa pesan Bung Hatta, beberapa waktu setelah Beliau mengundurkan diri:
"Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya. …
Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu"
Pesan yang masih relevan untuk jaman ini, 47 tahun berselang. Entah sangking hebatnya pesan tersebut, atau kecerobohan pemimpin kita dalam mengelola negeri selama ini!
***
Kemenangan bagi orang-orang besar bukanlah tujuan akhir. Mereka lebih mengedepankan prinsip-prinsip hidup yang diyakini benar, meskipun kekalahan dan derita menghadang didepan. Baginya keberhasilan tujuan tidak harus didapat dari kemenangan dalam kontes jangka pendek.
Penulisan sejarah memang selalu berpihak pada mereka yang berkuasa. Kita seringkali tidak mengenal secara utuh tokoh-tokoh kalah atau mengalah. Banyak tokoh-tokoh kalah atau mengalah sadar untuk menuju puncak harus melewati rintangan-rintangan yang bahkan harus menabrak nilai-nilai luhur yang mereka pegang. Pada titik inilah mereka “menyerah” dan memberi kesempatan pada tokoh lain untuk melanjutkan cita-citanya, meskipun kadangkala harus mengorbankan idealisme, bahkan menjilat kanan-kiri. Seperti juga Hatta, mereka lebih memilih menorehkan sejarah dalam jangka panjang, untuk dikenang oleh mereka yang mau bercermin dalam mencari kebenaran sejati.
Kita tidak harus menjadi calon presiden, wakil presiden, direktur, manajer, untuk meneladani titi laku Sang Tokoh, saat ini selayaknya kita bisa meneladani Beliau, apapun posisi kita, jabatan kita, kekayaan kita. Nilai luhur kemanusiaan harus selalu melekat pada diri kita.
Bila sampai akhir hayatnya Bung Hatta hanya bisa sebatas mengkliping iklan sepatu Bally, biarlah ini dicatat sebagai bunga-bunga indah kehidupan kita! Sepenggal mutiara dari Biografi orang-orang kalah atau mengalah.
(Sudarmono Moedjari, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-187, 2/8/2004)
Antara Debus, Golok dan Serambi Madinah
Kesenian dan kebudayaan adalah produk semua bangsa. Dengan karakteristiknya masing-masing, setiap etnis memiliki ciri khas kesenian yang mewakili entitas bangsa tersebut. Sebagai bagian dari peradaban, kelahiran kesenian dan kebudayaan sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup yang berkembang pada masyarakat. Pandangan hidup dapat lahir dari prinsip-prinsip keberagamaan atau kepercayaan dasar setiap insan masayarakat.
Pada proses selanjutnya, saat harus dilakukan pembentukan citra suku/bangsa, lazimnya dalam satu komunitas akan dipilih salah satu dari beragam kesenian atau kebudayaan yang ada saat untuk dipilih yang paling khas/unik sebagai “identitas” suatu suku/bangsa, karya cipta “monumental”. Dalam proses pemilihan inilah seringkali dunia kesenian dan kebudayaan harus berhadapan dengan komunitas politik dan juga tidak bisa terlepas dari dominasi pemain ekonomi yang tentu mempertimbangkan motif ekonomi.
Kita bisa menyaksikan, bagaimana Bali dengan beragam tarian yang indah dan dinamis, dan karya patung yang memiliki ciri khas Bali. Suku Asmat yang menghasilkan seni pahat yang sangat dikagumi berbagai wisatawan. Atau pada skala dunia – seni Piramid di Mesir, Borobudur di Jawa Tengah, Taj Mahal di India, dsb. Semua karya seni tersebut tidak bisa dilepaskan dari pemahaman masyarakat sekitar tentang apa makna dan tujuan hidup, bagaimana men-sikapi penghargaan masyarakat pada kekuatan diluar kemampuan diri sendiri maupun kemampuan kelompok secara kolektif. Kekuatan tersebut bisa berarti Tuhan, Sang Hyang Widhi, Roh Nenek Moyang, atau pemahaman tentang kekuatan-kekuatan supranatural yang lainnya.
Karya Piramid merupakan contoh nyata, demikian dominannya pengaruh politik dan kekuasan dalam karya seni pahat terbesar didunia tersebut. Hanya raja-raja dan para pemimpin politik berpengaruh sajalah yang dapat dikuburkan pada tempat pemakaman tersebut. Demikian juga pada Taj Mahal, dibangun dari rasa cinta Sang Raja pada permasiusi tecinta, yang meninggal terlebih dahulu.
***
Banten, sebagai suatu entitas masyarakat yang baru mendapatkan kembali pengakuan politiknya setelah lama dimarjinalisasi oleh kekuasaan tentu juga perlu memiliki citra identitas kesenian yang monumental. Identitas yang lahir dari bumi Banten, dan dari proses sejarah yang panjang. Bila pada akhirnya muncul alternatif Golok dan Debus sebagai identitas Banten, tentu hal itu harus dianggap sebagai bagian dari proses pencarian yang baru dimulai. Langkah selanjutnya adalah uji shahih, apakah pilihan itu tepat, atau ada alternatif lain yang lebih indah dan anggun, karena kesenian adalah puncak dari ekspresi keindahan.
Uji shahih, apakah golok dan debus lahir pada periode pra-sejarah Banten, periode sejarah kejayaan Banten yang kehadirannya diakui bahkan sampai ke Kerajaan Inggris Raya, atau periode marjinalisasi kerajaan Banten setelah keraton Surosuwan dibakar habis oleh kekuasaan kolonial? Bila memang golok dan debus merupakan ekspresi peradaban pra-sejarah Banten, haruskah kelestarian tradisi ini kita pegang teguh tanpa koreksi, bila tata nilai masyarakat yang membawa kesenian ini telah berbeda?
Setidaknya ada 2 hal yang patut dicermati bila golok dan debus menjadi wakil dari citra berkesenian kita. Pertama bagaimana menghilangkan golok dan debus dari citra kekerasan, kedigdayaan, dan mengalahkan lawan hanya dengan keunggulan dalam adu fisik. Kedua bagaimana menghilangkan citra ke-syirikan yang selalu menyertai produk budaya tersebut. Kedua citra tersebut sangat kontra produktif dengan mimpi kita untuk menjadikan propinsi ini sebagai Serambi Madinah. Tentu semua ini harus menjadi PR kita bersama.
(Sudarmono Moedjari, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-187, pemerhati budaya dan teknologi, 19/9/2005)
Pada proses selanjutnya, saat harus dilakukan pembentukan citra suku/bangsa, lazimnya dalam satu komunitas akan dipilih salah satu dari beragam kesenian atau kebudayaan yang ada saat untuk dipilih yang paling khas/unik sebagai “identitas” suatu suku/bangsa, karya cipta “monumental”. Dalam proses pemilihan inilah seringkali dunia kesenian dan kebudayaan harus berhadapan dengan komunitas politik dan juga tidak bisa terlepas dari dominasi pemain ekonomi yang tentu mempertimbangkan motif ekonomi.
Kita bisa menyaksikan, bagaimana Bali dengan beragam tarian yang indah dan dinamis, dan karya patung yang memiliki ciri khas Bali. Suku Asmat yang menghasilkan seni pahat yang sangat dikagumi berbagai wisatawan. Atau pada skala dunia – seni Piramid di Mesir, Borobudur di Jawa Tengah, Taj Mahal di India, dsb. Semua karya seni tersebut tidak bisa dilepaskan dari pemahaman masyarakat sekitar tentang apa makna dan tujuan hidup, bagaimana men-sikapi penghargaan masyarakat pada kekuatan diluar kemampuan diri sendiri maupun kemampuan kelompok secara kolektif. Kekuatan tersebut bisa berarti Tuhan, Sang Hyang Widhi, Roh Nenek Moyang, atau pemahaman tentang kekuatan-kekuatan supranatural yang lainnya.
Karya Piramid merupakan contoh nyata, demikian dominannya pengaruh politik dan kekuasan dalam karya seni pahat terbesar didunia tersebut. Hanya raja-raja dan para pemimpin politik berpengaruh sajalah yang dapat dikuburkan pada tempat pemakaman tersebut. Demikian juga pada Taj Mahal, dibangun dari rasa cinta Sang Raja pada permasiusi tecinta, yang meninggal terlebih dahulu.
***
Banten, sebagai suatu entitas masyarakat yang baru mendapatkan kembali pengakuan politiknya setelah lama dimarjinalisasi oleh kekuasaan tentu juga perlu memiliki citra identitas kesenian yang monumental. Identitas yang lahir dari bumi Banten, dan dari proses sejarah yang panjang. Bila pada akhirnya muncul alternatif Golok dan Debus sebagai identitas Banten, tentu hal itu harus dianggap sebagai bagian dari proses pencarian yang baru dimulai. Langkah selanjutnya adalah uji shahih, apakah pilihan itu tepat, atau ada alternatif lain yang lebih indah dan anggun, karena kesenian adalah puncak dari ekspresi keindahan.
Uji shahih, apakah golok dan debus lahir pada periode pra-sejarah Banten, periode sejarah kejayaan Banten yang kehadirannya diakui bahkan sampai ke Kerajaan Inggris Raya, atau periode marjinalisasi kerajaan Banten setelah keraton Surosuwan dibakar habis oleh kekuasaan kolonial? Bila memang golok dan debus merupakan ekspresi peradaban pra-sejarah Banten, haruskah kelestarian tradisi ini kita pegang teguh tanpa koreksi, bila tata nilai masyarakat yang membawa kesenian ini telah berbeda?
Setidaknya ada 2 hal yang patut dicermati bila golok dan debus menjadi wakil dari citra berkesenian kita. Pertama bagaimana menghilangkan golok dan debus dari citra kekerasan, kedigdayaan, dan mengalahkan lawan hanya dengan keunggulan dalam adu fisik. Kedua bagaimana menghilangkan citra ke-syirikan yang selalu menyertai produk budaya tersebut. Kedua citra tersebut sangat kontra produktif dengan mimpi kita untuk menjadikan propinsi ini sebagai Serambi Madinah. Tentu semua ini harus menjadi PR kita bersama.
(Sudarmono Moedjari, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-187, pemerhati budaya dan teknologi, 19/9/2005)
Langganan:
Komentar (Atom)
