Rabu, 23 Juli 2008

Antara Beirut dan Cilegon

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al Baqarah ayat 177)

Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran ayat 126)

Foto pertemuan itu mengingatkan penulis pada rapat-rapat akbar dan gelar pasukan SS Jerman –pasukan inti Nazi- saat menjelang dan berlangsungnya Perang Dunia II. Dengan seragam semi militer warna hitam kelam, mereka semua tegap berdiri, kain pengikat kepala warna hijau daun bertuliskan pesan-pesan perjuangan mempergagah semangat juang mereka, sementara tangan kanan dihunus ke depan bagaikan moncong senapan tank pemburu sergap yang siap menghadang setiap lawan yang akan menyerang. Yang berbeda, didepan para anggota yang sedang berikrar tersebut, duduk berjajar para tetua organisasi, berpakaian jubah gamis warna hitam dengan baju dasar warna putih. Tidak lupa sorban khas saudara-saudara kita kaum Syi’ah tersangkut diatas kepalanya. Perbedaan lainnya, acara tersebut dilaksanakan pada gedung tertutup rapat, khas organisasi bawah tanah. Keterangan gambar menunjukkan angka 11 Nopember 2001, jadi terhampar waktu hampir 5 tahun silam.

Memang sebagai organisasi perlawanan didaerah penuh konflik, soliditas organisasi harus dibuat serapih mungkin, juga jaminan tanpa penyusup menjadi kata kunci hidup mati organisasi ini, juga keteguhan pada cita-cita perjuangan harus dijaga tidak boleh luntur oleh waktu. Apalagi mereka sedang menghadapi sebuah negara dengan kekuatan militer terbaik di dunia, jaringan mata-mata yang tiada tandingannya. Negara dan Bangsa Israel, bahkan Allahpun berujar bahwa bangsa ini dikarunia keunggulan diatas bangsa-bangsa lainnya. “Hai Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat” (AL BAQARAH ayat 47).
“Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (QS Al Maaidah ayat 70)

“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israel dalam kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar." ( QS Al Isra’ ayat 4)

Tidak kurang dari 55 ayat di Al Qur’an yang menyinggung keberadaan Bangsa Israel, sebagian berisi kecaman terhadap kebandelan bangsa ini.

Adalah Israel pula yang memulai babak baru perang di Lebanon. Dengan berjuluk Operasi Pembebasan Galilea, dimulailah invasi pendudukan Israel di Lebanon Selatan, 6 Juni 1982. Operasi besar-besaran ini ditujukan untuk mengusir PLO dan mengamankan zona utara Israel dari serangan gerilyawan Palestina (baca: PLO) yang didukung penuh oleh Suriah. Israel - dengan dukungan penuh Amerika Serikat - mengerahkan seluruh kekuatan artileri berat, didukung oleh operasi pesawat tempur membombardir kota-kota Tyre, Sidon dan Beirut. Dengan serangan yang membabi buta, tanpa memandang mana sasaran militer dan mana sasaran sipil, dalam waktu singkat, invasi ini telah mendesak Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang bermarkas di Lebanon Selatan mundur ke Utara sejauh 40 kilometer. Kota Beirutpun diblokade penuh selama 10 pekan, menyebabkan 5.515 orang warganya berkalang tanah. Usai pertempuran tidak kurang dari 17,825 orang dari pihak Arab, sipil maupun militer harus melepaskan jiwanya, dan 675 orang tentara Israel menjemput maut.

Kota Tyre dan Sidon hancur total, 86 pesawat Suriah ditembak jatuh, tak satupun kekuatan Arab mampu membalas. Bendera putihpun menjadi keniscayaan bagi bangsa Arab, gencatan senjata menjadi kata-kata pelipur lara bagi tentara yang kalah perang, resolusi Dewan Keamanan PBB hanya justifikasi bagi kompromi-kompromi pemangku kepentingan. Markas Besar PLO sebagai organisasi perlawanan dan pembebasan Palestina paling populer saat itu harus terusir ke tanah Tunisia, 2.300 kilometer dari kota Beirut, Bangsa Palestina harus tercerai berai, terusir ke berbagai negara Arab lainnya.

***

Kegagalan adalah guru terbaik nilai-nilai kehidupan. Tetapi keledai tidak akan terantuk pada batu yang sama untuk kedua kalinya. Agar kekalahan menjadi kemenangan yang tertunda, diperlukan perencanaan dan pengorganisasian yang solid dan terarah. Visi, misi, obyektif, goal setting, harus dibuat dan dilaksanakan dengan penuh disiplin. Gencatan senjata adalah cara lain untuk mempersiapkan diri pada pertempuran yang lebih berat di kemudian hari.
Kekosongan organisasi perlawanan di Lebanon dimanfaatkan dengan baik oleh kaum Syi’ah untuk mendirikan organisasi perlawanan baru: Hezbollah, Partai Tuhan, 16 Februari 1985 dengan pimpinan yang pertama Sheik Ibrahim al-Amin.

Syi’ah yang awal kelahirannya dimulai dari tragedi pembantaian Khalifah Ali bin Abu Tholib, dalam perjalanan sejarahnya memang telah kenyang dengan berbagai moda penindasan bahkan pemusnahan massal. Tentu saudara kita kaum Syi’ah tidak akan pernah lupa peristiwa tragis pembantaian cucu Nabi di Karbala. Karbala memang menjadi ikon penting bagi kaum Syi’i, selalu diingat dan menjadi motivator, pembangkit semangat juang yang selalu ditanamkan sejak anak cucu. Barangkali sejarah di Karbala pula yang menyebabkan Muslim Syi’ah memiliki kesatuan organisasi yang lebih kokoh, semangat yang tinggi, komit pada nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

Tentu peranan Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az Zahra sangat sentral mempengaruhi budaya peradaban kaum Syi’ah. Rasulullah sendirilah yang menobatkan Ali bin Abu Tholib sebagai orang paling pintar, paling halus budi pekertinya, paling halus hatinya, “Andaikan aku adalah kota ilmu, Ali adalah gerbangnya”, “Barangsiapa yang menjadikan diriku sebagai pemimpinnya, tentulah juga akan menjadikan Ali sebagai pemimpinnya”
Sosok Ali, adalah sosok mini Rasulullah, adik biologis dan ideologis Nabi Muhammad, putra asuhan wahyu, pria pertama yang masuk Islam, ahli perang yang sesungguhnya. Rasulullah berujar “Tiada pedang (yang betul-betul hebat) selain “Dzul Fiqar” (pedang Rasulullah, pen.) dan tiada pemuda (yang gagah berani) selain Ali bin Abu Thalib…!”. Tarikh sejarah mencatat, saat perang Uhud terjadi, ketika Ummat Islam sedang terdesak, Ali-lah yang mendapat mandat memegang Dzul Fiqar. Dia harus menghadapi Abu Sa’ad dari pihak kafir Quraisy. Dalam perkelahihan satu lawan satu, tebasan Ali membuat Abu Sa’ad tersungkur ketanah, mengerang kesakitan. Ali dengan sigap segera akan mengibaskan pedangnya ke tubuh lawan. Tetapi pada saat yang sama, Abu Sa’ad membuka pakaian bawahnya. Seketika itu juga Ali mengurungkan niat, berpaling mengalihkan pandangannya serta menyarungkan pedangnya, kembali ke pasukannya. “Ia memperlihatkan auratnya kepadaku, sehingga aku merasa kasihan kasihan kepadanya!” inilah pengakuan kesatria sejati, yang tidak hanya meninginkan kemenangan diatas segalanya. Kemenangan harus diletakkan pada etika-etika kebenaran dan prinsip-prinsip kehidupan yang diyakini. Dan untuk Ali, nilai-nilai ini didapatkan dalam Al Qur’an dan bimbingan Rasulullah.
Dan tentu suatu kehormatan yang sangat besar dari Rasulullah, apabila pada akhirnya Rasulullah menikahkan putri tersayangnya, Fatimah kepada Ali. "Fatimah itu anak saya, siapa yang membuatnya sedih, berarti membuat aku juga menjadi sedih, dan siapa yang menyenangkannya, berarti menyenangkan aku juga." Demikian cintanya Rasul Allah pada anak ini. Kebesaran pribadi Fatimah juga diakui oleh Aisyah. Aisyah, istri Nabi tercinta berujar "Saya tidak pernah berjumpa dengan sosok pribadi yang lebih besar daripada Fatimah, kecuali kepribadian ayahnya". Ali dan Fatimah adalah dua sosok manusia paripurna, dengan hati yang sangat halus, citra kesalehan sosial sejati. Dengan hanya sepotong kwiras (pelindung dada dari kulit) yang pernah dipakainya pada perang Badar seharga 400 dirham, Ali mempersiapkan upacara pernikahanya. Dan Fatimah hanya memperoleh sebuah tempat air dari kulit, sebuah kendi dari tanah, sehelai tikar, dan sebuah batu gilingan jagung sebagai maharnya. Kepada putrinya tersayang Nabi berpesan, "Anakku, aku telah menikahkanmu dengan laki laki yang kepercayaannya lebih kuat dan lebih tinggi daripada yang lainnya, dan seorang yang menonjol dalam hal moral dan kebijaksanaan."
Dalam salah satu fragmen sejarah, Fatimah dengan tubuh yang ceking dan kesehatan yang buruk, dia tidak dapat melaksanakan tugas menggiling jagung dan mengambil air dari sumur yang jauh letaknya, selain itu dia juga harus merawat anak-anaknya. Fatimah memohon kepada Sang Ayah untuk memberi bantuan pembantu rumah tangga. Nabi tampak terharu mendengar permohonan Sang Anak, tapi sementara itu juga Beliau menjadi agak gugup. Dengan menekan perasaannya, Beliau berkata kepada Sang Anak "Anakku tersayang, aku tak dapat meluangkan seorang pun di antara mereka yang terlibat dalam pengabdian 'Ashab-e Suffa (sekitar 70 orang sahabat dekat Rasul yang tinggal di Masjid Nabawi, pen.). Sudah semestinya kau dapat menanggung segala hal yang berat di dunia ini, agar kau mendapat pahalanya di akhirat nanti". Fatimah mengundurkan diri dengan rasa yang amat puas karena jawaban Sang Ayah, selanjutnya Fatimah tidak pernah lagi mencari pembantu rumah tangga, hingga akhir hayatnya.
Fragmen lain bercerita, saat Salman yang ditugaskan Rasulullah membawa orang yang baru masuk Islam mengunjungi beberapa rumah untuk memberikan jamuan makan. Tetapi tidak seorang pun yang dapat memberinya jamuan makan, karena waktu itu bukan saatnya orang makan. Akhirnya Salman pergi ke rumah Fatimah, dan setelah mengetuk pintu, Salman memberi tahu maksud kunjungannya. Dengan air mata berlinang, putri Nabi ini mengatakan bahwa di rumahnya tidak ada makanan sejak sudah tiga hari yang lalu. Namun putri Nabi itu enggan menolak seorang tamu, dan tuturnya: "Saya tidak dapat menolak seorang tamu yang lapar tanpa memberinya makan sampai kenyang."Fatimah lalu melepas kain kerudungnya, lalu memberikannya kepada Salman, dengan permintaan agar Salman membawanya barang itu ke Shamoon, seorang Yahudi, untuk ditukar dengan jagung. Salman dan orang yang baru saja memeluk agama Islam itu sangat terharu. Dan orang Yahudi itu pun sangat terkesan atas kemurahan hati putri Nabi, dan ia juga memeluk agama Islam dengan menyatakan bahwa Taurat telah memberitahukan kepada golongannya tentang berita akan lahirnya sebuah keluarga yang amat berbudi luhur.
Barangkali spirit inipula yang telah mengobarkan semangat kaum Syi’ah dalam menghadapi segala tantangan jaman. Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, tidak sedikit tinta emas ditorehkan oleh kelompok ini. Khalifah Harun Al Rasyid, dengan Nasrudin Hoya, Abunawas dan cerita seribu satu malam, Salahuddin Al Ayubi dengan epik pembebasan kota Jerusalem yang sangat monumental bahkan diakui dan dihormati di dunia Eropa. Karya-karya sejarah tersebut merupakan karya-karya peradaban Muslim yang lahir dari kaum Syi’ah. Dengan dipandu kebesaran sejarah inilah Hezbollah lahir.

Sebagai organisasi perlawanan yang progresif, Hezbollah menggoreskan gambar senjata AK-47 pada lambang benderanya dibawah penggalan kalimat Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 56, "Sesungguhnya, golongan Allah, merekalah yang menang". Asas perjuangan diambil dari Ayat 39 Surat Al-Hajj: "Telah diizinkan kepada orang-orang yang diperangi (untuk berjihad) karena mereka dizalimi, dan Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka". Prinsip-prinsip kedzaliman kaum bani Israill seperti banyak tersebar dalam Al Qur’an jelas menjadi spirit yang tak pernah kering.

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling” (Al Baqarah ayat 83)

Selanjutnya, jargon-jargon pembangkit semangat organisasipun dibuat, “Rezim Zionis lebih lemah dari sarang laba-laba,” pekik Sayid Hasan Nasrollah - Sekjen Hezbollah saat ini. “Israel harus dihapuskan dari peta dunia”, dan berbagai kata-kata provokasi lainnya.

Jargon, misi, visi tanpa langkah, bagaikan tong kosong nyaring bunyinya. Hezbollah, melakukan pelatihan, merapatkan barisan, dan memodernisasi menguasaan senjata. Juga dengan tema Kampanye Rekonstruksi (“Jihad Al Bina”) Hezbullah melakukan langkah-langkah pembangunan masyarakat sekitar (community development). Setelah Isael meninggalkan Lebanon Selatan pada tahun 2000, kesempatan ini tidak disia-saiakan oleh Hezbollah. Rumah sakit dibangun, televisi satelit dibuat, radio, fasilitas pendidikan, dan berbagai macam pembangunan berbasiskan kemasyarakatan lainnya dilakukan. Pendeknya Beirut Selatan yang pada masa lalu dikenal sebagai kantong-kantong kemiskinan, dalam tempo sekitar 5 tahun, disulap menjadi kota-kota penuh gemerlap.

Bila, suatu waktu di tahun 2006 ini mereka dibombardir oleh Israel, dan rakyat Lebanon mendukung penuh keberadaan milisi ini, tentu banyak langkah-langkah community development yang patut ditiru. Seorang pemuda Lebanon yang dibujuk untuk menunjukkan dimana lokasi Hassan Nasrallah berada, dengan tegas berujar: "Mereka itu menginginkan posisi keberadaan Sayid Hasan Nasrallah. Beliau itu bertempat di hati saya ini". Pengakuan Pemimpin Kristen Armenia juga perlu dicatat: "Perlawanan bukan hanya haq, bahkan kami memandangnya sebagai perkara wajib atas bangsa Lebanon".

Ahmad Barakat, seorang pemuda yang bekerja pada kepolisian Lebanon meyakini bahwa keanggotaan dalam Hezbollah lebih berguna dan bernilai daripada dalam menjadi anggota kepolisian Lebanon. Rumah pemuda ini di Sour, Lebanon Selatan, sudah rata dengan tanah. Namun demikian dia masih tetap bersemangat mendukung Hezbollah. Salim, pemuda Lebanon lainnya yang rumahnya di Lebanon selatan juga sudah luluh lantak akibat serangan rezim zionis, dan meskipun saat ini menghadapi kondisi ekonomi yang sangat tidak menunjang, menyatakan, "Hasan Nasrallah adalah pemimpin kami. Ia adalah manusia besar dan agung. Hezbollah adalah satu-satunya kekuatan yang mampu menghadapi Israel."

Pendekatan “community development”, merebut hati rakyat, memang layak mendapat perhatian, dalam dunia bisnis, apalagi dalam dunia politik. Khusus untuk Hezbollah langkah ini akan menjamin dukungan rakyat terhadap gerakan perlawanan ini tidak mungkin dipadamkan dengan pelor, bom dan peluru kendali. Bantuan keuangan pasca invasi Israel 2006, langsung diberikan bagi mereka yang rumahnya hancur, maupun bagi penyewa rumah tersebut. Angka 12.000 US$ perkeluarga yang mengalami kehancuran rumah tentu bukan nilai yang kecil bagi sebuah pergerakan, bahkan untuk kita yang di Indonesia ini.

***


“Kekalahan militer Israel adalah kemenangan penting bagi Moqawamah Islamiah, Hezbollah, Lebanon, dan semua ummat Islam di dunia” inilah pernyataan Hasan Nasrollah Sekjen Gerakan Perjuangan Hezbollah Lebanon saat menerima resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1701, 14 Agustus 2006. Resolusi ini –secara de yure- telah memaksa Israel menghentikan agresi militernya selama hampir 5 pekan ke kawasan Lebanon Selatan, tanpa membawa bendera putih dari Hezbollah. Bahkan Hezbollah mengklaim telah menghancurkan 130 Tank Markava (tank andalan Israel), 48 kendaraan militer, 5 helikopter, 2 jet tempur, 3 kapal perang dan membunuh 415 serdadu Israel.

Bagi Hezbollah kemampuan bertahan menangkal segala serangan artileri paling canggih dari negara paling kuat di Timur Tengah tidak dilakukan hanya dalam waktu semalam. "Ini adalah perlawanan yang kami bangun dengan energi rakyat Arab," ujar Hassan Nasrullah. Kemenangan ini sama sekali bukan mukjizat yang tiba-tiba datang, tapi usaha yang telah dibangun sejak lama, perlu keteguhan pada visi, misi, dan langkah-langkah peningkatan kemampuan internal. Tidak ada tenggat waktu yang pasti, tetapi bila tenggat waktu telah tiba, tidak boleh ada penundaan. Penyimpangan On Time Delivery harus pada posisi nol. Keterlambatan dalam lintasan proses manapun berarti kematian.

***

Ungkapan kemenangan Hezbollah menyisakan suatu spirit perlawanan baru untuk siap setiap saat melakukan pembelaan diri melawan kedigdayaan kaum agresor. Jadi pertempuran lanjutan di kemudian hari menjadi suatu keniscayaan. Kekalahan Israel juga pasti membawa konsekuensi introspeksi besar-besaran bagi pemerintahan Zionis tersebut. Tentu perhitungan kembali kekuatan lawan, dan mempersiapkan diri lebih baik lagi apabila ada kesempatan datang untuk menyerang atau diserang menjadi agenda Israel paling dominan. Tidak ada kata pasti kapan pertempuran lanjutan tersebut bakal terjadi lagi. Yang pasti, peta kekuatan perang sekarang menjadi berbeda. Ada kekuatan seperior baru yang harus ditanggapi dengan serius. Industri-industri pertahanan dan persenjataan perlu dibangun kembali baik oleh kawan maupun lawan.

Apabila memperhatikan peta Timur Tengah sebagai pemasok sumber daya energi (baca: minyak) paling wahid di dunia ini, konflik pada wilayah ini pasti berdimensi global. Apalagi sejak pagi-pagi, dari seberang benua, Hugo Chavez = Presiden Venezuela - penghasil dan pemasok minyak utama di Amerika - memberikan nada simpati pada perlawanan Hezbollah. Simpati Hugo Chavez pada kelompok yang dianggap “teroris” oleh Amerika Serikat, jelas merupakan mesiu yang bisa sewaktu-waktu bisa dipantik oleh siapapun. Apalagi Hugo Chavez dikenal sangat kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat.

Ancar-ancar meluasnya pertikaian antar negara adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Persiapan perangpun harus disiapkan oleh semua negara-negara di dunia ini. Dalam kamus peradaban duniapun telah mengisyaratkan, negara yang memiliki kekuatan militer yang menggetarkanlah yang patut diperhitungkan. Diperhitungkan dalam kancah negosiasi politik, bahkan sampai ke hal bisnis praktis.

Tidak ada kata pasti tentang Perang Dunia ke 3 kapan bakal terjadi, tetapi apabila perang itu memang bakal terjadi, tanpa persiapan sejak dini, dapat dipastikan negara tersebut bagaikan boneka yang siap untuk dijadikan bulan-bulanan negara digdaya lainnya. Sekali lagi, bulan-bulanan dalam kancah politik dan juga ekonomi.

PT. Krakatau Steel yang telah memasang tag line “Steel as National Power” harus membaca arah perubahan peta politik dunia ini. Dan sejatinya, memang industri senjata tidak bisa lepas dari industri baja. Maka peranan Krakatau Steel menjadi kartu kunci keberlangsungan peradaban Indonesia di masa mendatang. Bila saat ini kepemimpinan nasional belum mempersiapkan diri terhadap kemungkinan mobilisasi dan konversi besar-besaran industri sipil strategis menjadi industri militer, bukan berarti selamanya kita tidak akan mendapatkan perhatian dari pimpinan politik dan pemerintahan.

Saat destabilitas geopolitik dunia mengarah ke Asean, atau destabilitas menunjuk negara-negara Muslim, dan saat perhatian akan pentingnya industri strategis untuk mendukung keberlangsungan sebuah negara muncul, saat “steel as national power” benar-benar dihayati oleh semua warga bangsa kita, kita harus siap mengemban amanah itu, tidak boleh ada kata mundur. Ekspansi, ekskalasi menjadi kata-kata yang harus bisa kita jawab saat itu juga, “at any cost”, karena yang dipertaruhkan adalah masa depan keberlangsungan negara. Jangan sampai apabila hal itu terjadi, kita baru tersadar.

Meskipun pelaksanaannya selalu tertunda, kajian-kajian ekpansi yang telah kita lakukan harus menjadi dokumen pertanggung jawaban moril apabila kondisi diatas muncul. Dan sangat bisa jadi pada saat-saat genting, kajian-kajian tersebut harus dipercepat implementasinya. Program QQ2020 harus menjadi kenyataan.

Spirit Hezbollah untuk selalu memacu semangat tanpa lelah, tanpa tahu kapan persiapan perang itu bisa digunakan harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Jarak ideologis kita yang Sunni (Ahli Sunnah wal Jama’ah), dan Hezbollah yang Syiah jangan sampai menghalangi kita untuk belajar dari mereka. Jangan sampai stigma “kompromi adalah kebijakan orang-orang yang lemah” menjadi tuah yang menimpa kita kaum sunni, yang memang dasar teologinya mengkrompromikan perbedaan pendapat diantara keempat Khulafaur Rasyidin. Kita buktikan teologi kita memang lebih benar daripada teologi kaum Syiah dengan perbuatan yang nyata di segala bidang kehidupan. Termasuk dalam bidang manajemen perusahaan, pengelolaan kompetensi, dan kapabilitas sumber daya. Kita yang seringkali lemah dalam mengimpelementasikan agenda-agenda dan program-program kerja kita, harus segera kita tinggalkan. Sejarah kehebatan kita dalam menyusun kata-kata indah dalam visi, misi, motto dan program kerja kita cukupkan disini. Kita syukuri kita telah memiliki QQ2020, tinggal ini harus menjadi pijakan yang sungguh-sungguh dalam berkerja.

Selamat Ulang Tahun, semoga Krakatau Steel dapat menjadi kekuatan bangsa ini, saat ini maupun di masa depan. Semoga jargon “Steel as National Power” dapat kita perjuangkan dalam kancah berbangsa dan bernegara.


*> Sudarmono Moedjari, pemerhati teknologi dan budaya, saat ini Manajer Pengembangan Bisnis dan Sekretaris Perusahaan PT. Krakatau Information Technology.(Agustus 2006)

Rabu, 02 Juli 2008

Titik Balik




Lelaki itu tertunduk diam. Perasaan gamang menyelimuti seluruh tubuhnya yang kian tua. Dilema besar harus dia selesaikan, dilema yang belum pernah dia rasakan selama berkiprah selama puluhan tahun dalam organisasi kemasyarakatan. Dilema yang membenturkan nilai-nilai pelajaran hidup dari nenek moyang dan lingkungan lama dengan tuntutan hidup masyarakat yang sekarang mempercayakannya sebagai Sang Pemimpin. Nenek moyangnya telah mengajarkan nilai tinggi pada harga diri, martabat, etika berorganisasi.

Nilai-nilai yang harus berhadapan dengan tuntutan masyarakatnya yang dalam –kacamata pribadi- sangat tidak elok. Tidaklah lazim apabila kita kalah dalam pertempuran, kita meminta pampasan perang, meskipun dengan landasan ketidak tepatan strategi yang diusung Sang Komandan Pasukan, atau alasan-alasan lain yang dapat dianggap shahih.

Puluhan prajurit dengan semangat kelaparan telah bersiaga untuk menuntut bela, kemanapun, kepada siapapun, dengan atau tanpa kawalan Sang Pemimpin. Pampasan perang harus didapatkan! Kompi lain yang juga kalah perang telah mendapatkan persetujuan untuk mendapatkan pampasan perang sebesar setengah kali, mengapa kita tidak, bukankah kita bertempur dalam satu kapal induk yang sama?

Bukankah kita juga telah lelah bertempur? Bukankah nilai pertempuran kita tidak kalah strategisnya dengan kompi mereka? Berbagai logika pembenaran atas tuntutan telah mensyahkan langkah dan gerak mereka. Apalagi mendengar rumor prajurit pada pasukan induk akan mendapatkan pampasan perang sebesar sepuluh kali. Batin pasukan ini menjadi tercabik-cabik bila mengingat beban pekerjaan prajurit pada kapal induk tidak selalu lebih berat dari pasukkannya.

“Enam puluh tahun diktator berkuasa lebih baik daripada sehari chaos” kata-kata Sang Guru kembali terngiang-ngiang di telinga Sang Pemimpin. Keutuhan pasukan harus tetap terjaga. Kondisi chaos hanya akan menimbulkan anarkisme. Pasukan harus tetap dikomando! Birokrasi harus tetap dihargai. Ketika barisan prajurit sampai pada Komandan Pasukan, dan Komandan Pasukan tidak mungkin meloloskan tuntutannya, maka dengan santun beberapa prajuritnya memohon agar pasukan dapat menghadap langsung pada Panglima Perang. Panglima Perangpun akhirnya bersedia menerima pasukan. Janji perjamuanpun segera ditetapkan.

“Berilah oleh-oleh, meskipun hanya selembar kertas” kembali Sang Pemimpin teringat pada pesan mantan Manajernya. “Kita akan menghadap Sang Panglima, suatu kesempatan emas yang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja”. Kebiasaan berotak-atik-otak dicoba dituangkan dalam selembar kertas sebagai oleh-oleh pada saat pertemuan dengan Sang Panglima.

Judul menjadi bagian kunci dalam artikulasi arah perjuangan hidup. Dengan judul kita bisa meraih sorga, dengan judul pula kita bisa terperosok ke neraka. Dengan judul kita bisa tahu gelora apa yang tersirat dibalik kata-kata. Akhirnya selesai juga bahan oleh-oleh pada Sang Panglima, dan oleh-oleh itu berjudul “Curahan Hati ke Pemegang Saham”. Bukan tuntutan, bukan pernyataan , bukan deklarasi! Surat itu hanyalah Curahan Hati prajurit.

“Bapak, penderitaan pasukan kami ini bagaikan Bangsa Palestina. Tempat mengayuh hiduppun hanya menumpang, tanpa selembar suratpun yang bisa kami andalkan. Rata-rata usia kami semakin senja. Kian hari nasib kami kian dhuafa…” Sang Panglima Besarpun bertitah “Teruskan perjuangan, jaga kondisifitas pasukan, kami beserta Panglima-panglima lainnya akan berupaya menyelesaikan masalah tersebut”.

Tidak berselang lama prajurit telah menerima keputusan tentang penghargaan pampasan perang. Dan tidak berselang lama pula pasukan menjadi bergeliat, bahkan pada tutup buku 2005, Komandan Pasukan Dhuafa ini telah menandatangani perjanjian jual beli markas komando yang baru. Sesuatu yang tak terbayangkan 2 tahun lalu, bahkan 3-4 bulan yang lalu. “Duh Gusti, terima kasih Engkau telah membantu kami menyelesaikan masalah pelik ini”

Sang Pemimpin menutup satu tahapan layar kehidupan dengan satu catatan “tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, asal kita semua saling bekerja dengan tulus”, karena “Kesempurnaan Karya Cipta lahir dari Ketulusan” (Sudarmono. Moedjari, Majalah KSG, Januari 2006)

Jiwa yang Agung

Lelaki setengah baya itu tertunduk lelah. Seruannya untuk tunduk pada jalan tauhid gagal total. Bahkan niat tulusnya dibalas dengan penghinaan yang tiada tara. Kata-kata kotor, lemparan batu, bahkan –ma’af – lemparan taik mendera seluruh badannya. Darahpun mulai tak betah tinggal di dalam tubuhnya. Meleleh kesana kemari. Lepuh di kakinya membuat lelaki itu harus berjalan dengan melepas sepatu, ditengah gurun yang sangat panas.

Derita ini menyempurnakan akumulasi kepedihan dalam tahun-tahun terakhir. Boikot selama 3 tahun memaksa kaumnya dibawah tekanan ekonomi dan fisik yang luar biasa. Kebutuhan dasar hidup-pun harus dikorbankan, makan dedaunan liar harus dilakukan. Ujian belum cukup, kematian Abu Tholib, orang yang paling ditakuti dan disegani lawan-lawannya menambah beban yang kian menghimpit. Juga Khadijah, belahan jiwanya, tumpuan harapannya, istri satu-satunya menambah derita yang tiada tara.

Pergi, pergi, pergi, menghindari tekanan dan mencari harapan tanah baru yang lebih menjanjikan. Pilihan pun jatuh pada Tha’if, sebuah kota yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Mekah. Perjalanan panjangpun dilakukan. Sayang provokasi dan fitnah musuh datang lebih duluan. Sambutan tidak bersahabat, bahkan memusuhi, menghina melecehkan menjadi agenda utama kepala suku dan masyarakat di Tha’if.

Dalam duka yang paling dalam, tak ada jalan lain kecuali mengeluh pada Sang Pemberi Amanah,

“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupan dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia... Engkaulah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang yang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku semuanya itu tak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku! Aku berlindung pada Sinar Cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau limpahkan kepadaku....., Hanya Engkau-lah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan menurut kehendak-Mu. Sungguh tiada daya dan kekuatan apapun selain atas perkenan-Mu."

Penderitaan tak terlalu nampak pada doanya. Tetapi Allah yang Maha Tahu pasti mendengar rintihan sekecil atom dan sehalus sutera. Allahpun tidak tega dengan nasib kekasihNya. Allah menugaskan pemimpin kaum malaikat untuk menemuinya, menghiburnya, meyampaikan pesan penting-Nya “Allah mengetahui semua yang terjadi antara kamu dengan orang-orang ini. Dia telah menugaskan seorang malaikat memegang gunung-gunung menunggu perintahmu”. Sang Pemimpin Malaikatpun kemudian memperkenalkan satu persatu malaikat penjaga aset dunia, yang siap menerima perintah dari Sang Kekasih Allah. “Wahai Nabi Allah! Aku siap melayanimu. Bila engkau suka, aku dapat menimbuni kota ini dengan gunung-gunung dari dua arah sehingga saling tindih menindih, lalu binasalah seluruh penduduknya, atau Anda boleh mengusulkan bentuk hukuman lainnya bagi mereka….”

Sekarang tombol peluru kendali yang lebih dahsyat dari sejuta bom atom telah ada dalam genggaman Sang Tokoh. Bila Beliau mau, selesai sudah urusan dengan bangsa Tha’if. Tetapi Jiwa yang Agung telah menghantarkan jawab pada Sang Jibril, “Walaupun seluruh rakyat ini enggan menerima Islam, saya tetap memohon kepada Allah agar beberapa orang keturunan mereka ada yang mau menyembah Allah dan mengabdi kepada-Nya”. Skenario genocide tidak terlintas dalam alam pikiran Sang Rasul, meskipun Beliau sedang dalam derita pengusiran dan penghinaan tiada tara. Tak ada dendam, tak ada benci, tujuan mulia tetap menjadi cita-cita, visi dan misinya. Jiwa yang Agung, yang diakui seluruh jagad raya, bahkan Allah sang Penciptanya.

Tidak ya Rasul, tidak ada orang semulia Engkau, Tidak ada manusia se Agung jiwamu. Ya Allah berikanlah kami semua hidayah. Beri kemampuan pada kami semua untuk meneladani laku Rasul-Mu. Selamat Ulang Tahun ya Rasulullah!

(Sudarmono Moedjari , Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, pemerhati teknologi dan budaya, Fajar Banten, 25 April 2005)

Dia Bukanlah Soetomo…

Langit ADB pagi itu terasa cerah, dari arah timur awan mulai menggumpal-nggumpal malu-malu. Di kejauhan masih nampak dengan jelas bangunan kokoh model joglo menghiasi hamparan luas tanah lapang, persis didepannya menghadap landasan tempat burung terbang hinggap di kota ini. Disinilah saksi bisu pertumbuhan kota ini ditancapkan, di termpat ini pula secuil sejarah perusahaan digoreskan.

Di sebelah kanan, sayup-sayup terlihat menara masjid menjulang bagaikan dua tangan yang sedang menengadah. Ah nampak seperti orang sedang kusyuk berdo’a, menunggu barokah Allah, mengangkat harkat kemakmuran seluruh warga kota, pribumi maupun pendatang. Inikan yang dimaksud “capture”, “landmark” kota baja? Seorang teman yang bertahun-tahun merindukan hadirnya bangunan “capture”, atau “landmark” kota baja, pasti merasa sepakat bahwa bilapun capture belum dibangun, bangunan didepan mata ini bisa menggantikan kerinduannya pada kehadiran capture yang lebih ber-nash.

Pekan ini adalah pekan pertama dia mulai masuk kembali kantor ini. Cukup lama dia meninggalkan “tanah tumpah darah”nya. Beberapa bulan dia harus istirahat total. Penyakit ginjal telah merubah arah sejarah hidupnya. Mimpi-mimpi indah mulai harus dia kuburkan lebih dini.

Ketegaran fisik dan mental harus dia akhiri sampai disini. Diapun harus terperanjat, ketika vonis dokter mematok angka 2 tahun untuk sisa umurnya. Dalam perjalanan hidupnya yang penuh onak dan duri, tak pernah hinggap setetespun air mata hinggap dipipinya. Tetapi tidak untuk kali ini.

Meskipun idealisme masih tertanam dalam, tetapi upaya perjuangannya menjadi sejarah. Tongkat estafetpun harus diberikan bagi teman-teman dan anak-anaknya. Teman-teman untuk mimpi komunal, mimpi-mimpi bagaimana mengelola perusahaan agar dapat memiliki daya saing tidak saja pada skala nasional, tetapi setidaknya pada skala regional. Management by Objective, Malcom Baldrige National Quality Award, yang baru diimplementasikan di perusahaan induk beberapa tahun ini, telah dia pikirkan dan dicoba diterapkan di anak perusahaan tempatnya bekerja jauh-jauh hari sebelumnya.

Mimpi untuk anak-anaknya agar melanjutkan tradisi suci bagi tali darahnya. Dia lepaskan seluruh daya upaya, bahkan kadangkala diluar batas kekuatannya untuk membangun generasi baru dengan paradigma perencanaan yang mapan. Baginya pendidikan tingkat rendah adalah pondasi bagi pembentukan pribadi anak, maka harus disiapkan lebih matang, berapapun biaya yang menjadi konsekuensinya. Prinsip ini pula yang diterapkannya saat dia mendapat amanah di pengembangan SDM. Satu bulan pelatihan untuk satu tahun kerja karyawan merupakan prinsip yang telah diimplementasikan pada perusahaannya, saat dia menjabat 10-12 tahun lalu.

Kesedian terpancar diwajahnya, terbayang dalam ingatan, perjuangan masih panjang, impian belum terwujud. Sahabat-sahabat yang menyemai impian yang samapun saat ini sudah tinggal beberapa gelintir, yang lain telah lama menabur benih baru di lahan lain yang lebih subur. Atau larut dalam arus deras pragmatisme sempit.

Dalam kesepian, sesosok tubuh tiba-tiba datang. Tak pernah dia membayangkan kehadiran sosok ini. Wajahnya tetap saja kelihatan enjoy, polos dan gurauannya tidak pernah menyisakan jarak, khas orang-orang yang tidak punya pamrih. Padahal, sudah lebih dari 10 tahun mereka tidak bertemu muka, juga tidak segaris sepersinggunganpun dalam pekerjaan, meskipun masih dalam satu kerajaan bisnis Krakatau Steel. Kedatangannya diluar kebiasaan pertemanan mereka, tetapi patut diduga, bermotif mengunjungi sahabatnya yang baru masuk kantor setelah lama sakit keras.

Seperti biasa, pertemuan sahabat yang telah lama berpisah, pembicaraan pertama akan berputar tentang kondisi kesehatan masing-masing, bagaimana keluarga, bagaimana anak-anak, dan sebagainya-dan sebagainya. Semua cerita mengalir tanpa agenda dan protokoler resmi. Keluar tanpa beban, tanpa dendam. Waktu 1 jam lebih tidak terasa berlalu begitu saja.

Dalam gelak tawanya, dia sangat bangga dipercaya teman-temannya sebagai ketua koperasi, sebuah lembaga bisnis yang setara dengan lembaga-lembaga bisnis

***

Tak terasa, meskipun pertemuan telah usai, masih saja terngiang-ngiang pengakuannya. Bagaimana pangkat, jabatan, dan pekerjaanya masih persis seperti 10 tahun yang lalu, seperi terakhir kali mereka bertemu. Bahkan meja yang dia pakai, adalah meja yang sama saat dia mulai bekerja di perusahaan ini 15 tahun yang lalu, sama persis seperti pertama kali mereka bertemu! Majikan telah berganti-ganti, rolling karyawan telah dilakukan berkali-kali. Tetapi semua tidak untuk kawannya itu.

Pekerjaan tetap seperti yang lalu, juga semangat juang tidak pernah luntur. Bekerja adalah ibadah, lembur tak harus dilebur. Dia tetap dengan tekun datang sebelum lonceng masuk berbunyi, dan pulang ketika lonceng sudah lama bertalu. Baginya pekerjaan apapun adalah mulia. Menjadi ketua koperasi di satu divisi kecil dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Amanah harus dijawab dengan pengabdian yang tulus, mutu harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Kepercayaan adalah kehormatan. Harus dijaga untuk kita, keluarga, sampai anak cucu nanti.

Seperti tragedi sejarah negeri ini, karir, jabatan tak selalu segaris dengan kualitas pekerjaan, prestasi. Berapa banyak ide-ide cemerlang hilang begitu saja. Berapa banyak prestasi yunior, lenyap saat dewasa. Apakah itu sepakbola, olimpiade matematika, fisika, biologi, dsl.

…Ada masalah-masalah lain yang mempengaruhinya, dan seringkali pengaruh itu dominan.

***

Tragis? Ah tidak! Kehidupan nyata memang tak seindah sinetron. Duri-duri tak selalu menjadi tumpul diakhir cerita. Jarum-jarum baru bisa saja muncul ditengah cerita, dan dia tidak harus selalu tumpas diakhir babak. Inilah dunia yang dia fahami sekarang. Dunia yang lebih konkret, dunia yang lebih nyata, dunia yang mengenal sejarah bahkan sekelas nabi Allah-pun bisa terbunuh tanpa balas! Tak selalu yang menyemai, yang akan memetik hasilnya. Di negeri ini bahkan mereka yang tidak pernah menyemai seringkali yang memetik hasilnya. Karir tak selalu sepadan dengan prestasi. Bukan untuk negeri ini, tetapi untuk bangsa sebesar Indonesia, masalah ini menjadi klasik.

Dia menjadi ingat bagaimana benih kebangsaan yang ditanamkan oleh RM Tirto Adhi Soerjo, dan dilanjutkan oleh Samanhoedi ketika silih berganti membangun Sarekat Dagang Islam sejak tahun 1905, sirna oleh kehadiran Boedi Oetomo yang datang lebih baru. Tanpa mengurangi apresasi terhadap gerakan yang telah dilakukan oleh Boedi Oetomo, siapapun tahu Boedi Oetomo bukanlah peletak dasar kebangsaan yang perdana, bahkan sifatnya yang kooperatif dengan Belanda, dan hanya mengkoordinir kaum priyayi Jawa telah menghadirkan Boedi Oetomo menjadi gerakan lokal dan terbatas.

Dan dia sadar, dia bukanlah Soetomo, dia tidak dilahirkan oleh darah Jawa, dia bukan priyayi. Tak cukup prestasi dihargai dari karya diri semata. Perlu dibekali dengan bibit, bebet, bobot
nampak, tetapi

Dia bersyukur, saat ini Assesment Center telah kokoh berdiri, untuk memberikan jaminan bahwa mereka yang punya kapasitas dan kapabilitas yang tertinggi yang patut dihargai. Tinggal bagaimana lembaga ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tanpa kedisiplinan dalam pemanfaatan hasil kajian lembaga ini, lembaga ini bagaikan Burung Garuda Pancasila. Gagah hanya saat menempel di tembok.


(Sudarmono Moedjari, Pemerhati budaya dan teknologi, 24 Agustus 2007)