Selasa, 28 Oktober 2008

Perintis TPA itu Telah Tiada!

(Orbituari Buat Drs. Hud Sholeh Syuhada, MA)


“Mas, kenapa sih fotonya harus pakai gaya Minang?” tanya Penulis pada Kang Pemimpin Redaksi Majalah KSG. “Emangnya kenapa?” Beliau balik bertanya. “Jaman sekarang sensi lho pakai atribut Minang?”. “Ah, kamu kok ikut-ikutan nggak rasional gitu”. “Lho, tapi ini fakta psikologi ummat”. “Ah kamu, sudahlah bulan depan aku pakai gaya Sunda, bulan berikutnya pakai Jawa – pakai blankon, dan kalau perlu pakai gaya Papua...., tak jamin nggak ada spirit apa-apa selain kebetulan”. Percakapan ini terjadi saat kami ketemu pertama kali setelah Beliau dipercaya memimpin Majalah ini, dan pergantian pimpinan PTKS belum lama berselang, sehingga isu-isu sekitar pergantian pimpinan perusahaan masih berseliweran. Bila pada bulan-bulan berikutnya foto Pemimpin Redaksi dalam Majalah KSG selalu berganti-ganti gaya, ini hanyalah style Kang Pemimpin Redaksi yang sangat menghindari ke-tabu-an dan ke-jumud-an pada pemakaian atribut-atribut tampilan fisik, diluar pemikiran dan tindakan terobosan lainnya. Dua hal terakhir inilah yang sangat membekas pada penulis.

Ya, yang khas dari Kang Pemimpin Redaksi kita ini adalah keberanian melakukan terobosan pemikiran dan terobosan tindakan. Hal mana dilakukan tidak hanya saat setelah menjabat sebagai Manajer Humas PTKS, tetapi jauh-jauh hari, bahkan ketika masih membujang. Keberanian dalam melakukan terobosan tindakan ini pulalah yang menghantarkan Beliau yang masih “kuncup”, berani menjadi khatib sholat Jum’at di Masjid Al Muhajirin – CRM, tahun 1991-an. Keberanian menjadi khotib bagi seorang “Pemuda Kuncup” di ranah Banten – yang diklaim sebagai negeri santri merupakan catatan tersendiri bagi kami, dan inilah perjumpaan awal penulis dengan Beliau. Dengan isi khotbah yang cukup berani, khas anak muda, telah menghantarkan penulis pada perkenalan yang lebih intensif dengan Beliau. Diluar isi khotbahnya, seperti pada cerita awal, “pemuda kuncup” ini memakai atribut pakaian khotib yang tidak lazim: tanpa penutup kepala, dan baju koko warna-warni. Bila selanjutnya sebagian jama’ah Al Muhajirin CRM “protes” dengan atribut itu, bagi pemuda kuncup hal tersebut bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan.

Memang, urusan pakaian yang “nyleneh-nyleneh” biasa dilakukan Beliau. Bagi rekan-rekan orang tua murid SD Al AZHAR Shifa Budi Cilegon pasti ingat, tahun 2000-an Beliau biasa saja menghantarkan anak sulungnya berangkat ke sekolah naik motor dengan tidak memakai celana panjang, tetapi memakai balutan sarung. Meskipun demikian urusan sikap kritisnya jangan ditanya! Suatu saat, acara pentas seni SD Al Azhar Shifa Budi menampilkan tari-tarian dan lagu yang “agak seronok”, Beliau bilang ke penulis, “anakku kalau di rumah tak batasi nonton TV yang kurang pantas, eeehhhh disini malah dijadikan ajang pentas”.

***

Waktupun berjalan cepat. SMS Sekretaris Redaksi menutup semua kenangan lama. Memang sore sebelumnya SMS Corp. Com. kami telah memberitakan, ada SMS dari Staf Humas PTKS, bahwa kendaraan pak Hud Sholeh kecelakaan di Tol Jagorawi, Pak Hud Sholeh dirawat di RS PMI Bogor dalam kondisi kritis. Ternyata do’a rekan-rekan tidak menghentikan kecintaan Sang Khalik pada hamba-Nya. Tepat jam 08.10, 25 Agustus 2008, Beliau harus menghadap Sang Khalik.

Ingatan-ingatan saat pertama kali gagasan Majalah KSG lahir, bersama Pak Fauzi, Pak Thoha, Pak Zaenudin, Pak Khairil, Pak Nana, dan lain-lain terngiang-ngiang. Lay out awal majalah ini adalah salah satu karya Beliau saat Beliau masih di KBS. Kritik-kritik penyempurnaan terus berkumandang. Hal-hal pekerjaan teknis tidak tabu untuk terjun langsung. Tetapi bagi Penulis ini hanyalah amalan-amalan kecil belaka.

Jum’at, 22 Agustus 2008 siang, pada sebuah toko kue di Cilegon, seorang wanita keturunan menyambut jabat tangan anaknya. Baju koko rapi dikenakan, tas berisi buku Iqro’ tergenggam erat di tangannya. Bersama ribuan anak-anak Cilegon sore ini Sang Buah Hati berangkat mengaji. Tentu sasarannya adalah Taman Pendidikan Al Qur’an - TPA. Seratus lebih TPA telah tersebar merata di kota Baja ini sejak mulai dirintis tahun 1990-an. Di tempat inilah mimpi menghapuskan buta aksara Qur’an disemai. Pembinaan akhlakul karimah, kisah inspiratif para nabi dihembuskan, belajar membaca secara tartil, menulis huruf al Qur’an, bagaimana kasih sayang diajarkan dalam Islam, bagaimana keindahan al Qur’an ditularkan sejak dini.

Telah hampir 20 tahun goresan tinta emas kehidupanmu kau torehkan untuk melahirkan taman ini – Taman Pendidikan Al Qur’an. Bersama Muji, Bayu, Sanusi, Agus, dan teman-teman muda lainnya kau dobrak tradisi pendidikan Islam, bahkan di gudang kota santri ini. Kau pampangkan spanduk besar di menara Masjid tertinggi di kota baja, kau ajak seluruh komponen ummat untuk mengikuti program itu, kau ajak kaum sepuh, segenap ulama untuk mendukung program itu. Bila taman ini sekarang telah bersemi, Allah tak akan lupa bagaimana peluh keringatmu kau teteskan untuk sebuah perubahan. Perubahan yang abadi. Bersama tetesan air mata batin kami, kami ucapkan Selamat Jalan Kang Hud Sholeh Syuhada.........
*> kutipan langsung sudah melalui re-interpretasi dari penulis.

(Sudarmono.Moedjari, Redaktur Pelaksana Majalah KSG, Karyawan PT. Krakatau Information Technology)

Kebijakan Industri Nasional Kita Terkait dengan Kemandirian”

Wawancara Eksklusif dengan Bpk. Ansari Bukhari
(Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Departemen Perindustrian Republik Indonesia)

Dalam rangka Ulang Tahun PT. Krakatau Steel, Tim Liputan Utama Majalah KSG - Firman T. (Humas PTKS), Zaenudin (DPKS), dan Sudarmono.Moedjari (Krakatau IT) berkesempatan mewawancarai Anshari Bukhari - Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Departemen Perindustrian Republik Indonesia, yang juga Komisaris PT. Krakatau Steel. Berikut ini cuplikan hasil wawancara tersebut.


Bagaimana Kebijakan Industri Nasional, terutama Kebijakan Industri Baja Nasional disusun?

Dasar pertama, kita punya RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah) atau Repelitanya pemerintahan SBY-JK pada periode 5 tahunan dari 2004-2009. Di RPJM itu salah satunya bicara mengenai pengembangan desain industri manufaktur. Itu bicara mengenai pengembangan industri manufaktur atas dasar RPJM. Selanjutnya kita membuat apa yang disebut dengan Kebijakan Industri Nasional (KIN). Kalau bahasa kita dulu, KIN ini kita sebut sebagai Industrial Policy, sekarang disebut dengan KIN.

Nah, Kebijakan Industri Nasional ini ditetapkan dalam Peraturan Presiden, dulu awalnya memang hanya SK Menteri. Jadi kelihatannya pengembangan industri ini tidak lepas dari dukungan instansi lain, sehingga kita tingkatkan otoritas keputusannya dalam bentuk Peraturan Presiden. Jadi, secara formal ini adalah Peraturan Presiden dimana para menteri-menteri juga mendukung sepenuhnya.

Nah di dalam KIN itu, salah satu yang kita prioritaskan adalah pengembangan industri baja. Kalau saya lihat kebijakan industri nasional kita yang utama memang terkait dengan masalah kemandirian. Sekarang ini kita lihat antara demand dan suply di dalam negeri itu belum sebanding, Demand-nya meningkast terus, kemudian suply-nya relatif stagnan, tidak terjadi peningkatan, sehingga yang kita alami sekarang adalah terjadinya peningkatan impor yang cukup besar. Setiap tahunnya yang kita perkirakan bisa mencapai 2 juta ton. Dan impor yang kita lakukan ini terutama adalah untuk baja-baja yang belum diproduksi di dalam negeri.

Untuk spesifikasi apa saja baja yang diimpor?

Baja lembaran dingin, terutama untuk kebutuhan otomotif, kebutuhan elektronik, juga baja untuk industri perkapalan, kemudian alat-alat produksi gas. Itu kan belum dapat dipenuhi dalam negeri.

Apakah untuk keperluan tersebut perlu spesifikasi khusus?

Ya, kalau kita istilahkan sebagai special steel, baja-baja spesifikasi khusus. Kita biasanya menggunakan istilah itu. Arahan kita ke depan sebenarnya kita mengharapkan bagaimana ketergantungan impor yang terus meningkat ini lama-lama dihentikan, itu yang kita inginkan. Nah, saya pikir ini terkait juga dengan apa yang selama ini dicanangkan oleh Krakatau Steel sebagai ”Steel as National Power”. Kita mengharapkan memang kapasitas nasional kita ini mencapai 10 juta ton. Dari 10 juta ton itu yang 5 juta ton atau 50 % nya dari PTKS, sisanya baru dari industri-industri yang lain. Itu yang menjadi target kita.

Untuk mewujudkan 10 juta ton ini, kita juga ingin menggunakan sumber daya nasional atau sumber daya lokal. Kita ketahui sekarang PTKS/industri-industri yang lain itu bahan bakunya, dalam bentuk pellet atau dalam bentuk scrab, dsb masih di impor, juga PTKS kan pelletnya atau sponge iron-nya 100% masih kita impor. Target Pak Wakil Presiden, 20-30% dari kebutuhan bahan baku itu dapat disuplai dari dalam negeri.

Bagaimana potensi Sumber Daya-nya?

Kalau kita melihat potensinya, bahan baku iron ore dan energi batu baranya, 2 potensi ini sebenarnya terbesar ada di Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan. Memang ada masalah, pertama potensi tambang kita itu skater (tersebar), tidak terpenuhi dalam jumlah besar pada satu tambang tertentu. Dia cenderung tersebar dalam kilometer yang kecil-kecil.

Kedua adalah kualitasnya, berdasarkan studi/kajian yang yang dilakukan PTKS umumnya Iron ore kita kadar ferro-nya dibawah 60%, atau sekitar 58 %. Padahal, secara teori minimal harus diatas 63 %. (Firman T., Darmono)

Kita Perlu Menyadari, Kita Melakukan Kesalahan

Wawancara Ekslusif dengan Ahmad Syafii Ma’arif
(Mantan Ketua Umum Muhammadiyah)




Sumpur Kudus – sebuah desa di Sumatra Barat. Tidak banyak orang yang tahu peranan desa ini dalam kancah kesejarahan Republik ini. Padahal di “desa” inilah sejarah penting Republik Indonesia pernah tertoreh. Tidak tanggung-tanggung, peranan desa yang baru teraliri listrik pada tahun 1990-an adalah sebagai ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia – PDRI bermarkas. Jadi selayaknyalah kita dapat menempatkan Sumpur Kudus setara dengan kota Yogyakarta yang pernah tercatat sebagai ibukota RI pada saat awal perjuangan Republik ini.

Dan tidak ada yang menyangkal, pengangkatan kembali rekaman peran desa ini ke memori ratusan ribu rakyat Indonesia dipelopori oleh Syafii Ma’arif. Lewat kolom tetap di sebuah harian nasional, ratusan ribu pembaca setia membaca diskripsi peran desa itu yang ditulis oleh “buah desa”nya yang telah menjadi tokoh nasional tersebut. Buya Syafii dikenal memiliki integritas yang tinggi, dan dengan setia mengawal sprit moral kejujuran, kesederhanaan, kesetiaan, keadilan dengan bingkai ke Indonesiaan dan ke-Islaman. Dan spirit itu ditularkannya pada pembaca setianya di tanah air. Jabatan formal sebagai Guru Besar IKIP Yogjakarta, mantan Ketua Umum Muhammadiyah tidak menghapus peranan lebih Beliau sebagai inspirator bagi banyak ummat. Kata pengantar Beliau menjadi idaman penulis muda untuk pentasbihan bobot tulisan penulis muda tersebut bagi buku yang akan diterbitkan, termasuk Andrea Hirata pada Laskar Pelangi edisi pertama.

Ramadhan 1429 H, hari ke 19, Penulis, bersama Bapak Fazwar Bujang, Pak Humaedi, Pak Firman, Pak Zaenudin, Pak Hari Santos dan Pak Dede Rusli berkesempatan berbicang-bincang dengan salah satu tokoh penting dalam percaturan arus reformasi 1998. Berikut ini beberapa cuklipan dialog dengan Buya Syafii.

Dar: Dalam tulisan-tulisan Bapak kami menangkap pesan kesuraman pada semua sektor dan pertumbuhan bangsa ini. Sebetulnya, masih adakah harapan dan masa depan Bangsa Indonesia?

Buya: Itu tergantung. Apakah Anda menilai PTKS masih punya masa depan? Kalau Anda menilai PTKS masih punya masa depan, berarti Indonesia juga harus punya masa depan.

Dar: Apa kira-kira titik-titik yang dapat membangkitkan spirit dan harapan kedepan? Padahal kita bisa membaca fakta-fakta bagaimana dominannya porsi asing pada kepemilikan aset-aset nasional kita (seperti Indosat, Telkomsel, Bank Danamon, BII, Niaga, dsb). Juga bagaimana perilaku penegak hukum kita yang tidak punya malu menggandaikan amanah hanya untuk mendapatkan uang.

Buya: Saya rasa anak muda sekarang banyak yang belum muncul, padahal mereka punya idealisme. Dia mencintai (bangsanya, red.) luar biasa. Dulu kan Krakatau Steel juga mau dijual (dan ditentang oleh masyarakat sebagian pemuda, red). Seperti sekarang Indosat. Coba lihat Indosat mau di beli Qatar (dijual dengan harga sangat tinggi oleh Temasek, red). Untungnya sudah berapa itu. Dengan mudah kita menjual aset negara.

Dar: Oleh karena itu titik spirit apa yang membangkitkan harapan kita?

Buya: Yang pertama adalah kita perlu menyadari bahwa kita melakukan kesalahan. Kalau sudah kita sadari lalu kita perbaiki dan ambil langkah-langkah yang berorientasi pada penyelamatan masa depan kita.

Dar: Mulai dari siapa?

Buya: Dari level atas sampai level bawah termasuk juga perusahaan-perusahaan.

Dar: Kalau bicara masalah pemimpin. Tentu kita harus melihat pola suksesi kepemimpinan. Sementara kalau kita melihat pola suksesi kepemimpinan, hampir di tingkatan mana pun, mulai dari rekrutmen pegawai negeri sampai ke rekrutmen politik, rasanya nuansa uangnya sangat kental. Jadi harapan untuk lahirnya pemimpin yang mampu merubah itu rasanya jauh banget.

Buya: Iya. Saya rasa di mulai dengan dari kepemimpinan puncak. Presiden harus bersikap decisive (tegas, red), harus selalu mengambil tindakan yang tidak populer, dihitung untuk kepentingan masyarakat. Itu kita yang masih kurang.

Dar: Apakah demokrasi memungkinkan itu?

Buya: Nah persoalannya begini, kita ini kan sudah berpengalaman bermacam-macam sistem politik, demokrasi. Dulu pernah zaman 50-an kita menerapkan sistem demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal kemudian gagal karena partai-partai politik yang pada waktu itu dipimpin oleh kaum intelektual saat tidak mementingkan kepentingan negara melainkan mementingkan kepentingan dirinya sendiri atau golongannya. Mereka lebih sibuk dengan kepentingan mereka sendiri, jadi tesisnya demokrasi liberal mengalami kegagalan. Selanjutnya ada demokrasi yang lebih dikenal orang dengan nama demokrasi pancasila. Tetapi itu juga tidak jauh berbeda, karena secara politik itu tetap otoriter. Ekonomi yang diterapkan juga kapitalistik, itu enggak klop lagi dengan kita.

Tetapi tentang demokrasi ini, sebegitu jauh peradaban manusia itu belum menemukan sistem yang lebih baik. Demokrasi ditangan orang tidak bertanggung jawab bisa menjadi sumber malapetaka. Nah dengan demikian apakah kita ingin kembali lagi ke sistem yang otoriter? Tidak. Demokrasi ini harus kita jaga, demokrasi ini secara berangsur-angsur - tapi tidak terlalu lama berlarut-larut di tangan politisi – harus diperbaiki. Pemimpin yang bertanggung jawab, bertanggung jawab itu artinya tidak menyalahgunakan, kalau sekarang politisi kita ini kan mencari makan, lalu politik itu menjadi mata pencahariannya.

Dar: Kalau melihat mekanisme partai politik, tidak ada satu pola audit dan pengendalian ekternal (seperti di perusahaan yang mengenal auditor publik, komite audit, sertifikasi manajemen mutu dan sebagainya). Padahal saat ini, kunci sukses kita dalam berdemokrasi terletak pada kualitas partai politik.

Buya: Ya, ada sebabnya, jadi demokrasi kita ini kan dibunuh cukup lama. Demokrasi yang memberdayakan masyarakat dan warga itu kan dibunuh, lalu Habibie membuka keran demokrasi begitu lebar secara berangsur, munculah instant politicians, politisi yang secara mendadak muncul dan tidak ada kesiapan, disamping itu juga karena mengalami kejatuhan ekonomi moneter dan lalu sebagian memang orang itu tidak siap secara ekonomi, oleh sebab itu politisi lahir untuk memperbaiki ekonomi rumah tangga masing – masing. Tetapi hal itu jangan terlalu berlama – lama, saya tidak tahu apakah 2009 bisa mengubah keadaan, tapi banyak orang yang tidak terlalu optimis , walaupun ada pergantian. Barangkali hal itu terjadi pada tahun 2014.

Persoalan kita, apakah lautan kemiskinan yang terjadi sekarang ini bisa diatasi, itu transparan sekali. Apabila standar 2 dolar per kepala perhari, maka angka kemiskinan kita tinggi sekali, lebih dari seratus juta dari seluruh rakyat dan rata – rata kita dibawah garis kemiskinan.

Jadi saya rasa pemimpin harus melihat realitas sebenarnya, kalau hanya berangan-angan kita tidak bisa.


Seperti kolega dekatnya – Amien Rais, dalam banyak tulisannya, Buya Syafii juga sangat “geram” dengan penjualan aset-aset bangsa yang strategis. Oleh karena itu Buya Syafii juga amat prihatin terhadap rencana penjualan PTKS melalui strategic sale. Upaya-upaya juga Beliau lakukan agar PTKS tidak sampai dijual melalui strategic sale ini. Saat wawancara berlangsung beberapa saat, Pak Fazwar Bujang baru datang. Beliau menyampaikan “courtesy call” yang cukup menarik. Sayang untuk tidak kami sampaikan disini.

FB: Jadi ada yang ingin laporkan Pak, Alhamdulillah kemarin sore jam 15.20 wib. DPR sudah memutuskan. Komisi XI, Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN memutuskan bahwa Krakatau Steel di privatisasi dengan IPO tidak dengan Strategic Partner. Itu yang sangat kita harapkan. Rupanya ada hikmah dan nikmat di bulan Ramadhan ini.

Buya: Jadi tidak di Indosatkan gitu ya..... Syukurlah.

Buya: Ya pertanyaan tadi bagus sekali, apakah bangsa ini punya masa depan. Kalau Krakatau Steel punya masa depan maka bangsa ini punya masa depan.

FB: Jadi minggu yang lalu, cuma saya lupa harinya Pak. The Jakarta Post kalau gak salah sabtu apa minggu. Itu ada survei mengenai kekhawatiran rakyat indonesia. Dan sangat mengagetkan, 70% mengatakan kekhawatiran utama rakyat Indonesia adalah terjadinya perpecahan bangsa, disintegrasi. Dari sampel yang menurut mereka sangat representatif, sangat mendekati.

Buya: Itu dimana saya belum terbaca?

FB: Bapak bisa baca di Jakarta Post, atau Bapak bisa melihat di internet .

Buya: Apakah di situ disebutkan bentuk separatisme atau kelompok-kelompok mana yang menyebabkan disintegrasi?

FB: Disintegrasi karena berbagai faktor pak, bukan karena ketidakpuasan daerah pusat saja.
Disintegrasi dari kondisi ekonomi seperti ini. Kemudian yang lain juga disurvei, negara mana yang dianggap mempunyai peranan besar, kalau itu akibat permainan negara-negara asing. Maka mayoritas responen merasa permainan Amerika, yang kedua Singapora dan Malaysia. Karena memang merasa kalau sebetulnya mereka berkepentingan seperti itu. Australia nomor 3, supaya Indonesia lemah jadi pecah.

Buya: Apakah Malaysia berpikir seperti itu? Mungkin orang merasa dengan langkah-langkah Malaysia yang katakanlah menyerobot hutan, mencuri kayu itu diartikan sebagai unsur yang akan menghancurkan perekonomian yang ujung-ujungnya disintegrasi? Kalo Malaysia memang begitu, dia konyol itu..

Dar: Ya mungkin karena itu Pak .. dikit-dikit kan kita selalu disinggung nasionalisme kita oleh Malaysia. Yang masalah klaim kepemilikan Reog Ponorogo, keris, batik, lagu, dan sebagainya. Sehingga hal itu menjadi satu ancaman bagi masyarakat kita. Bukankah survey tersebut bersifat persepsi masyarakat?

Berdialog dengan Buya Syafii terasa sangat nyaman. Karena luasnya pemahaman Beliau pada berbagai masalah, mulai antropologi, sosiologi, budaya, politik, theologi, dsb. Disamping itu, sebagai mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, wawassan tersebut tidak saja diuji pada ranah teori tetapi juga pada tataran praksis.

Dar: Saat ini banyak kelompok-kelompok puritan baru yang lahir dan mempengaruhi opini publik, bagaimana pandangan Buya tentang gejala ini?

Buya: Tidak banyak sebenarnya mereka, karena mereka hanya vokal saja.

Dar: Tetapi bukankah mereka sangat solid?

Buya: Iya tetapi juga penyebab utamanya yaitu ada faktor domestik, pemerintah tidak bertindak tegas.

Dar: Atau masalah lainnya, karena peranan Muhammadiyah yang mulai berkurang peminatnya?

Buya: Ya bisa juga begitu, Muhammadiyah sibuk mengurusi di dirinya sendiri.

Dar: Ya, kami amati pergerakan Muhammadiyah tingkat konfliknya sangat tinggi, dan apa yang diteriakkan Pak Amien dengan pemberantasan KKN, di Muhammadiyah gejala itu juga tidak kurang-kurangnya terjadi.

Buya: Ada sebabnya, karena Muhammadiyah merupakan bagian dari Bangsa, mungkin belum mampu menciptakan alternatif buat bangsa ini. Kalo bangsa ini bobrok, maka ikut bobroklah semuanya itu..itulah yang saya lihat.


Waktu sangat terbatas, Buya Syafii harus segera mempersiapkan diri untuk memberikan tauziah di Masjid As-Salam, maka dengan berat hati wawancara harus diakhiri disini. Masih banyak pertanyaan mengganjal. Entah kapan kami bisa berdialog lagi dengan Sang Penjaga Moral ini... (Sudarmono Moedjari, Krakatau Information Technology)