Kamis, 07 Mei 2009

Pendekar Lintas Imam Itu Telah Tiada (I)


Selasa, 05 Mei 2009 pukul 00:58:00

Pendekar Lintas Imam Itu Telah Tiada (I)


Oleh:  Ahmad Syafii Maarif



Beberapa hari yang lalu Republika memberitakan tentang wafatnya tokoh ini di Pasadena, Kalifornia Selatan. Namanya Hassan Hathout (23 Des. 1924-25 April 2009), dokter ahli bedah, penulis, penyair, etikus, aktivis, dan pemikir, kelahiran Kairo. Publik menyebutnya sebagai "a man of God dan a man of love" (manusia kekasih Tuhan dan manusia cinta). Sewaktu meneruskan studinya di Univ. 

Edinburgh, Skotlandia, dengan tiga titel sekaligus diraihnya dalam bidang bedah, obstetrisi, dan genekologi. Tidak hanya sampai di situ, Hathout juga meraih Ph.D. dalam bidang genetika reproduktif. Nama lengkapnya biasa tertulis dengan Hassan Hathout, M.D., Ph.D., FRCOG, FRCSE, FACS. Sebelum hijrah ke Amerika tahun 1989, Hathout bersama istrinya Dr. Salonas Hasan Ismail bertugas mengajar di Kuwait antara tahun 1966-1988.

Sumber-sumber informasi menurunkan bahwa Hathout tidak pernah marah, bahkan terhadap orang yang menyakitinya. Kendali dirinya sudah mencapai maqam spiritual puncak. Terhadap musuh sekalipun, tanda-tanda kebencian tidak tampak di wajahnya. Terus terang saya "iri" dengan tokoh ini. Dalam usia lanjut ini saya belum juga berhasil mencapai tingkat spiritual setinggi itu. 

Dapat dipahami, mengapa mereka yang pernah bergaul dengan Hathout, Muslim dan non-Muslim, merasakan kehilangan dan kekosongan yang dalam atas kepergiannya. Selama 20 tahun berkarier sambil berdakwah di Amerika, Hathout telah berhasil sampai batas-batas yang jauh dalam merajut persaudaraan fenomenal lintas iman. Posisi keimanan dan keislamannya kokoh sekali. Dengan posisi seperti itulah dalam diri Hathout tidak ada tempat kegamangan dalam bergaul dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Hathout adalah salah seorang pakar Etika Medis yang berafiliasi dengan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia).

Dalam siaran persnya, Salam al-Marayati, Direktur Eksekutif Urusan Publik Muslim setempat, menggambarkan kunci keberhasilan Hathout dalam karier hidupnya dalam ungkapan: "Dia mengembangkan cinta sebagai satu unsur pokok iman mencintai semua orang, kawan dan musuh, sambil bekerja untuk menegakkan keadilan. Kami wajib menyatakan rasa terima kasih kami terhadap amal-baktinya seumur hidup di jalan Islam dengan meneruskan kerja bagi tegaknya nilai-nilai Islam tentang rahmat, keadilan, martabat, dan persamaan untuk semua." Kata-kata pujian ini tidak berlebihan, karena seluruh nafas hidup pendekar lintas iman ini telah menjadi bukti telanjang untuk semuanya itu.

 Pendeta George Regas, salah seorang sahabatnya, melukiskan tentang Hathout dalam kalimat: "Sebagai seorang dokter dia demikian jauh terlibat untuk membela kehidupan, dia ingin melawan apa saja yang akan melenyapkan kehidupan. Semuanya itu dilakukannya sebagai seorang beragama dengan intensitas yang dalam." Bertahun-tahun Hathout bersama Regas dan pendeta Yahudi Leonard Beerman terlibat dalam pengorganisasian the Interfaith Center to Reverse the Arms Race, salah satu upaya penting awal dalam kerja sama lintas iman di Los Angelos.

Ketika Perang Teluk meledak 1991, pemikir dan pendekar humanis ini menggelar doa mingguan bersama bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Lebih dari 1500 peserta yang hadir dalam doa bersama itu kali pertama diadakan. "Selama berabad-abad kita telah hidup bersama dalam suasana saling diam dan benci," komentarnya kepada Daily News tahun 1991. "Salah satu hal yang positif dari seluruh krisis teluk adalah bahwa tiga komunitas datang bersama dan menemukan begitu banyak persamaannya dalam iman dan kitab suci masing-masing." Jika fakta ini telah berlaku di Amerika, dipelopori oleh seorang beriman seperti Hathout, mengapa di Indonesia kita masih saja gagap untuk mengucapkan selamat natal kepada sahabat Kristen kita?

Pasca Tragedi 9/11 2001, ketika umat Islam jadi bulan-bulanan dengan tuduhan teroris, Hathout telah bekerja keras untuk menjembatani dan mengimbau umat Islam agar mengendorkan retorika anti-Amerika. Diluncurkanlah program tahun 2002 dalam bentuk Open Mosque Day di semua masjid (lebih dari 24) di Kalifornia Selatan, dengan mengundang komunitas non-Muslim untuk berdoa, makan, dan berpuisi. Suatu kali kepada para pengunjung, Hathout menjelaskan filsafat hidupnya bahwa tinimbang membagi umat manusia berdasarkan agama, dia berupaya memandang orang dalam ungkapan yang lebih mendasar: "Mereka dengan hati cinta dan mereka dengan hati benci." Sebuah filsafat hidup mulia yang dapat mengeratkan persaudaraan antarmanusia, apa pun agama yang dipeluknya.