Selasa, 23 Juni 2009

Yang Selalu Sami’na Waatho’na

Orbituari Fathurohman

Oleh: Sudarmono Moedjari

Telepon genggam rekan kerja penulis berdering. Tak ada perhatian sedikitpun, karena memang bukan handphone penulis. Tetapi teriakan kaget rekan tersebut menghentakkan pikiran, apalagi keluar kata-kata yang tidak lazim: “meninggal”. Kekagetan itu semakin memuncak ketika rekan tersebut menyerahkan handphone kepada penulis, pertanda berita buruk ini sangat erat dengan kehidupan penulis. Sesaat dunia berhenti berputar! Suara yang tak kalah kaget dari Teh Rima diseberang sana mengabarkan Fathurohman – rekan kerja Majalah KSG koresponden di PT.KHI telah meninggal dunia jum’at pagi itu, saat menunaikan tugas sebagai koordiantor senam di PTKHI. Kematian adalah kepastian, tetapi bila tak ada tanda-tanda, sinyal-sinyal sebelumnya, kematian menjadi sebuah “tragedi” bagi sahabat, apalagi dari keluarganya.

Pembaca, barangkali Anda tidak kenal, siapa Fathurohman, apa kiprah Beliau, apa kontribusi bagi Anda, atau bagi majalah ini. Memang Beliau sosok yang rendah hati, yang tidak suka penonjolan diri, apalagi posisinya di perusahaan yang relatif “kecil”, dimana setiap akhir tahun selalu mendengarkan tokek mendendangkan kata berulang: “untung” dan “rugi”. Dengan posisi tersebut, Beliau selalu menempatkan posisi sebagai “follower”, mengamankan seluruh kebijakan dewan redaksi, tidak canggung untuk selalu mengatakan “sami’na wa atho’na” – kami dengar dan kami taat . Sikap yang hanya dimiliki oleh mereka yang sudah pada “maqom” yang sangat tinggi. Sikap yang tahu untuk menempatkan posisi, bahkan apabila harus dibelakang layar. Sikap yang akhir-akhir ini menjadi susah kita temui. Sikap yang tidak menonjolkan “elektabilitas” diatas nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai kesantunan dalam berinteraksi sosial.

Pembaca, dalam drama hidup, kematian adalah kepastian. Manusia dinilai secara individual, nilai-nilai komunal hanya dijadikan referensi dalam menilai kontribusi individual. Dihadapan Tuhan, seluruh atribut keduniaan harus ditanggalkan. Apakah Anda saat ini menjadi Foreman, Supervisor, Manager, bahkan Direktur, ini semua tak ada artinya bila atribut-atribut tersebut tidak menyebabkan Anda memiliki kontribusi positif sesuai dengan otoritas amanah yang Anda pegang. Tentu semakin tinggi dan luas otoritas Anda, semakin besar jawaban yang harus Anda berikan saat berhadapan dengan Sang Kuasa.

Bagi kami, Fathurohman adalah sosok yang khas. Kehadirannya selalu ditunggu, joke-joke inspiratif selalu keluar. Konsistensi selalu terjaga, kesetiaan selalu menyertai. Hampir setiap rapat koordinasi pelaksanaan majalah, beliau selalu hadir, tidak banyak anggota Team Redaksi yang setia seperti ini, tidak terasa satu persatu mulai berguguran. Kerja sosial memang menjadi kiprah Beliau, dikantor maupun di masyarakat. Dikantor, mulai bidang humas, majalah, PKBL, desa binaan. Kemampuan dalam mengartikulasi ide-ide kedalam bahasa yang sederhana – khas Cilegon membantu merekatkan Beliau dalam strata sosial yang diikutinya.

Di masyarakat, sebagai salah satu “tokoh masyarakat” yang selalu dekat dengan kaum Ulama, membantu tugas-tugas Beliau menjadi jauh lebih sederhana. Kepesertaan Beliau di salah satu partai politik yang mengedepankan spirit moral, tetap Beliau ikuti hingga akhir hayat. Penulis masih ingat, cerita kegalauan Beliau saat ada salah satu petinggi partai di kota ini, yang selalu membawa-bawa nilai agama dalam setiap perjumpaan dengan ummat, satu saat harus melangsungkan upacara pernikahan di sebuah hotel di Jakarta. Sayang acara terselenggara dengan cara-cara yang diluar kepatutan moral agama yang diyakininya. “Kami ini ulama, masak harus menghadiri acara-acara yang seperti ini ” ….

Waktu berlalu dengan ritme yang selalu tepat. Tetapi makna hidup bisa berbeda setiap saat. Kemarin kita bisa tertawa bersama, sekarang kami harus sendiri…..Kepergianmu demikian cepat, mengingatkan kami pada cerita Rasulullah saat sakaratul maut…..Saat Jibril tak tega melihat penderitaan Rasul Utama ini, dengan santun Jibril menawarkan jasa baiknya untuk memohon kepada Allah kemudahan dalam menghadapi sakaratul maut….Rasul Utama ini menolak, dan membiarkan seluruh derita ummatnya saat sakaratul maut dibebankan ke Beliau saat itu….Barangkali inilah yang membantu ummat-ummat pilihannya menjadi mudah untuk melampaui fase-fase yang sangat menentukan ini…..

Selamat jalan Ustadz Fat…..semoga jalan lapang selalu menunggumu di surga-Nya…. (Penulis, Redaktur Pelaksana Majalah KSG)

Berubah atau Mati!


Oleh: Sudarmono Moedjari

Saat Anda membaca tulisan ini, barangkali anak laki-laki Anda atau bahkan suami Anda sedang murung, uring-uringan, entah kenapa nggak ketahuan sebab-musababnya, dan nggak jelas “juntrungan”nya. Psikolog barangkali memahami gejala macam apa ini. Tetapi yang pasti, Anda harus berbesar hati dan memahami, saat ini perubahan besar sedang terjadi di dunia “laki-laki” yang barangkali menjadi idola anak dan suami Anda, dunia kaum Adam, dunia yang telah menyita dan menghipnotis banyak orang untuk duduk manis hampir tiap pekan di seluruh dunia, dunia balap mobil Formula 1.

Betapa tidak, ajang pertandingan yang selalu hadir sejak tahun 1950-an, hari-hari ini harus melakukan perubahan-perubahan besar apabila ingin tetap “selamat” (terjemah bebas dari kata “slamet” dalam bahasa Jawa) dalam menghadapi tekanan susahnya mencari sponsor sebagai sumber dana utama pergelaran ini. Tentu krisis ekonomi global yang bolak-balik diceritakan oleh orang-orang pandai (tentu maksud saya bukan orang “pinter”) di televisi, dianggap sebagai biang kerok perubahan ini.

Perubahan paling besar adalah aturan pembatasan anggaran bagi anggota team. Mulai tahun depan, setiap anggota team dilarang membelanjakan uangnya lebih dari 60 juta US $, atau kira-kira setara dengan 720 milyar rupiah setiap tahun. Memang bagi kita yang biasa di negeri susah, angka tersebut masih sangat besar (kalau uang tersebut berupa recehan Rp 10.000,-, dan disambung-sambung, kira kira panjangnya 108.000 kilometer!!).

Tetapi bagi team-team raksasa, angka tersebut nilainya sangat kecil. Team RedBull – atau kalau di Indonesia bernama Kratingdaeng - misalnya, biasa menyiapkan anggaran sekitar 252 Juta US$ tiap tahun untuk urusan balap mobil ini. BMW lebih tajir lagi. Mereka pada tahun 2007 menganggarkan 355 Juta US$. Team Honda, sebelum harus “KO” pada musim ini, tercatat mengangarkan dana 380 Juta US$. Bisa dimaklumi bila akhirnya dia harus gantung baju ketika melihat kenyataan krisis ekonomi global juga mendera mereka. Ini adalah suatu langkah rasional yang patut dipuji.

Dua papan atas yang selalu bersaing dalam menyiapkan anggaran adalah Ferrari dengan 406 juta US$, serta Toyota dengan angka 418 juta US$. Team Ferrari adalah ikon tersendiri bagi tontonan lomba balap Formula 1. Team ini adalah “pendiri” citra F1. Selalu hadir dan selalu menjadi idola dari banyak pihak, Team ini telah menorehkan berbagai tinta emas di ajang Formula 1. Catat saja: team ini satu-satunya yang mengikuti jejak F1 sejak putaran pertama, bahkan jauh sebelum format baru F1 lahir di tahun 1950. Team ini juga tercatat membukukan juara dunia sebanyak 16 kali musim pada bidang konstruktor. Juga team yang nama kompletnya saat ini: Scuderia Ferrari Marlboro adalah tempat mangkal nama-nama besar sejarah F1. Tentu penggemar F1 tidak akan lupa bagaimana piawainya Michael Schumacher saat ikut dalam Team Scuderia Ferrari, nama ini telah menjadi legenda F1.

Citra tersebut menempatkan Team ini selalu ditunggu-tunggu kiprahnya oleh semua pihak. Sayang, bagi Ferrari, pemangkasan anggaran yang luar biasa ini membuat pengaturan “dapur” menjadi sangat susah, kiat “cost reduction”, seperti beberapa tahun lalu dilakukan oleh perusahaan kita, jelas tidak cukup (lha potongannya lebih dari 80 % dari sebelumnya). Harus dilakukan pemangkasan yang luar biasa (cost cuting). Bagi celaknya, boss Ferrari merasa, hal tersebut tidak mungkin ia laksanakan. Oleh karena itu ia melakukan protes habis-habisan. Dia faham bahwa dia punya tempat istimewa di ajang balapan ini. Dia punya hak veto, hak yang nampaknya hanya dimiliki oleh Team Ferrari. Sementara itu, FIA - Federasi Automobil Internasional – penyelenggara F1 - tetap pada pendirian untuk membatasi budget para peserta Team.

Protes keras Ferrari pun berlanjut dengan kepala tertengadah dia hadapi, dia lawan aturan baru ini! Kalau perlu bercerai! Persoalan pun berujung pada pengadilan di Paris (Tribunal de Grande Instance). Adu argumentasi melawan argumentasi dilakukan. Ferrari dengan seluruh penggemarnya berada dibelakang, dan pada pihak lain FIA yang harus menatap masa depan F1 berada pada pihak lain. Diluar Ferrari, Team-team tangguh berharap-harap cemas atas pembatalan aturan baru FIA, meskipun tidak selantang dan seberani Team Ferrari.

Dan keputusan pengadilanpun harus diberikan. Hakim telah memutus bahwa dan menempatkan Ferrari pada pihak yang kalah. Upacara perceraianpun tidak lama lagi bakal terjadi. Format baru F1 yang diimpikan oleh Max Moesly segera menjadi kenyataan. Perlombaan yang lebih “irit”, lebih banyak peserta, dan kelebihan-kelebihan lain yang telah dicanangkan oleh FIA.

Diluar sana, gambaran kemungkinan “negatif” juga tetap menganga. Penggemar F1 harus mulai membayangkan “garing”nya perlombaan, karena tanpa dihadiri team-team tangguh seperti Ferrari, dan mungkin juga tanpa Toyota, tanpa BMW. Tontonan balap F1 adalah tontonan inovasi, tanpa dana yang besar, potensi inovasi akan berkurang. Tidak bisa dibayangkan bagaimana menjemukannya format balapan itu, bila mobil yang keluar tiap tahun tetap mobil yang itu-itu saja, dengan jalan yang terseok-seok.

Reliability – keterandalan- juga kunci menariknya balapan ini. Dengan anggaran yang sangat banyak saja kita bisa menyaksikan banyak mobil-mobil balap yang tidak sampai garis finish karena kerusakan mesin. Dengan anggaran yang kepangkas, bisa jadi hanya 1-2 mobil saja yang bisa masuk finish. Jangan-jangan mulai tahun depan, jarak antara juara 1 dengan juara 2 hitungannya sudah menit (bukan lagi sepersekian detik).

Tetapi itulah realitasnya. Barangkali Boss Mosley punya perspektif yang berbeda. Dan kita tunggu saja apa yang terjadi nanti. Atau jangan-jangan gertakan Ferrari hanya gertakan gaya partai di Indonesia. Hari ini menggertak, ngamuk-ngamuk, esuk hari sudah berjabat tangan dengan mesra…..

****

Kadangkala kita memang harus menghadapi kenyataan bahwa kita dipaksa harus berubah, karena memang perubahan adalah sunatullah. FIA harus berubah bila tidak ditelan oleh kerasnya krisis global. Ferrari harus berubah kalau ingin tetap berkiprah di ajang F1. Kita penonton juga harus berubah karena berbagai regulasi baru.

“Perlawanan” sebagai bagian dari kemampuan kita merespon tantangan luar - so pasti – harus dilakukan. Cuma kapan perubahan dan perlawannnya harus dilakukan, bagaimana perubahan dilakukan, sangat tergantung pada budaya, kapabilitas, dan persepsi serta kreatifitas pengelola perubahan. Semuanya terjalin berkelindan dengan resiko yang kita hadapi ditengah pilihan logis yang kita lakukan.

Maksudnya, respon yang gradual, pelan, dan “liat” lebih gampang sukses dibanding respon yang menyeluruh, cepat, dan frontal. Tetapi ada pepatah Jawa Timur yang pas untuk dialektika ini: “jer basuki mawa bea”, atau “no pay, no gain”. Semakin besar pertaruhan yang kita berikan, semakin potensial kita mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Bila perlawanan Ferrari berhasil, bukan tidak mungkin nantinya akan ada format baru balapan mobil yang lebih berwarna dibandingkan F1.

Masalah lain yang kita hadapi: kadang perubahan harus dilakukan, dan Allah tidak menyisakan banyak alternatif untuk perubahan itu sendiri (bisa karena posisi kita, otoritas kita, atau masalah lainnya). Masalah balap F1, misalnya, sebagai penonton – posisi tersebut memaksa kita memilih menonton balapan F1 atau memindahkan remote TV ke acara sinetron (karena kita bukan boss-nya Ferrari atau boss-nya FIA). Saat kandidat presiden RI 2009-2014 hanya 3 pasang, kita hanya dapat memilih salah satu diantaranya, atau tidak memilih (karena kita bukan Ketua Dewan Pembina partai manapun). Saat perusahaan harus menghadapi krisis mulai bulan Oktober 2008, kita hanya dihadapkan pada pilihan mengurangi kenikmatan kita, atau mati bersama-sama. Inilah pilihan dan alternatif yang harus kita hadapi.

Apa yang resiko bila kita gagal mengantisipasi perubahan? Ibu-ibu pemilik mesin jahit Singer, peliharalah mesin itu baik-baik, karena pabrik mesin jahit Singer sudah tidak ada lagi. Tulisan Singer di perempatan Harmoni Jakarta yang pernah ada di jaman dahulu kala, memang sudah tidak ada cukup lama, siapa tahu kolektor benda-benda antik 200 tahun lagi akan mencari mesin jahit Ibu-ibu…..

Handphone terbaik didunia, Siemens, sekarang sudah tinggal kenangan. Tak akan ada lagi program reminder-reminder ulang tahun khas handphone Siemens yang bisa ada dapatkan di handphone papan bawah merek lain (nggak tahu ya kalau handphone papan atas…..).

Jadi……berubah atau mati…..

(Sudarmono Moedjari, Divisi Transformasi Bisnis PT. Krakatau IT, pemerhati teknologi dan budaya)