Selasa, 11 Mei 2010

Demokrasi Tokek

Oleh: Sudarmono Moedjari

Saat Nurcholish Madjid (Himpunan Mahasiswa Islam – HMI), bersama Usep Fathuddin (Pelajar Islam Indonesia - PII), dan Utomo Dananjaya (Gerakan Pemuda Islam - GPI) melemparkan gagasan tentang ketidakperluan suatu partai diatribusi dengan pandangan agama tertentu (Islam Yes, Partai Islam No), 3 Januari 1970, 40 tahun yang lalu. Ummat Islam yang aktif di dunia politik kecewa berat. Nurcholish yang diimpikan, diharapkan dan di”gadhang-gadhang” sebagai pengganti Natsir – tokoh utama Partai Masyumi, ternyata keluar kotak pandora, melontarkan gagasan yang sangat liberal, keluar dari pakem umum yang dipegang saat itu, suatu adagium bahwa untuk menciptakan masyarakat yang “Islami” harus diperjuangkan lewat partai politik. Dan partai itu harus dengan jantan memiliki jati diri sebagai partai Islam, agar kesatuan cita, kesatuan misi, kesatuan gerak langkah, dapat selalu diarahkan pada satu tujuan yang padu.

Pertaruhan Nurcholish dengan lontaran gagasan lintas jalur, jelas tidak datang tiba-tiba. Dihadapan lintasan sejarah saat itu, dia melihat gerakan Ummat Islam telah beku, antar pimpinan tak ada saling kesepahaman, konflikpun setiap saat menganga siap menerkam masing-masing pihak, perolehan suarapun tak hendak menanjak. Sementara kaum muda yang masih belum terkontaminasi dunia politik, sangat antusias mengikuti kajian-kajian Keislaman di kampus-kampus, tanpa hirau atas hiruk pikuk kaum tua yang berebut kursi. Ada jeda yang jauh antara kaum tua dan kaum muda. Ada kekecewaan kiprah para senior di panggung politik. Oleh karena itu perlu perubahan cara pandang yang serius, agar lintasan sejarah berpihak kepada cita-cita awal pembentukan sebuah partai Islam. Diciptakanlah adagium baru ”Islam Yes, Partai Islam No”.

Empat puluh tahun berlalu. Demokrasi yang diterapkan di negeri ini telah semakin “murni”, tanpa embel-embel atribut, seperti Demokrasi Terpimpin saat orde lama, maupun Demokrasi Pancasila saat orde baru. Mayoritas suara telah menyepakati bahwa embel-embel istilah pada demokrasi hanya akan membelokkan praktek demokrasi yang benar. Hasilnya adalah hak rakyat untuk bersuara dan berpendapat benar-benar diakui dan dibuka selebar-lebarnya. DPR kita pilih langsung, bahkan tidak sebatas nama partainya, tetapi sampai ke nama orangnya. DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten setali tiga uang. Presiden sudah bukan raja lagi, kalau kita tidak senang, kita bisa ganti pada periode berikutnya. Gubernur, Bupati, Walikota bisa kita pilih sesuka hati kita. Istilah Pileg, Pilpres, Pilkadal, Pilkada, Pilbup, dan beragam variasinya sangat akrab di telinga kita.

Tetapi, pertanyaan selanjutnya, apakah semua pendekatan tersebut bermanfaat? Apakah cita-cita dasar pembentukan negara ini sudah tercapai? Apakah rakyat sudah sejahtera? Apakah rakyat sudah merasa diperlakukan dengan adil? Kok, nampaknya kalau di skoring, nilainya tidak sampai 7, bahkan bila harus mengacu ke angka standar minimal kelulusan Ujian Nasional sebesar 5,5, nilai tersebut sudah harus dikatrol lebih dahulu. Mang Udin, kenalan penulis sejak 15 tahun lalu sampai sekarang juga masih tetap berprofesi menjadi tukang becak. Rekannya tukang becak bahkan sekarang harus sudah mulai melakukan perkaderan bagi anaknya, tetap sebagai tukang becak! Biaya untuk “mempromosikan” anaknya menjadi tukang ojeg-pun nampaknya juga tidak terjangkau.

Bagaimana dengan perspektif keadilan? Tanyakan pada pada Gayus, berapa tingkat kenaikan gaji bersih yang dibawa pulang sejak 5 tahun terakhir? Bandingkan dengan tarif Mang Udin untuk menarik becak tahun ini dibandingkan 5 tahun lalu. Saya jamin peningkatannya tidak akan sebanding. Apalagi profesi tukang becak adalah profesi “pasar bebas”, tanpa “entry barrier”, tanpa proteksi tarif. Siapapun konsumennya boleh menawar tarif becak, bila terlalu mahal, becak sebelah akan menerima dengan senang hati.

Dengan demikian apakah gejala tersebut dimaknai sebagai kegagalan konsep demokrasi? Biarlah pakar-pakar ilmu politik meneliti masalah tersebut. Yang pasti setiap konsep, sebagus apapun, memerlukan prasyarat terhadap keberhasilan konsep tersebut. Perlu syarat keberlakukan atas keberhasilan gagasan demokrasi. Dan diantara syarat keberlakuan demokrasi yang cukup penting tetapi belum disentuh secara serius adalah jangkauan media informasi. Saat ini setiap pemilihan tiba –apapun pemilunya- kita para pemilih dihadapkan pada informasi yang sangat minim tentang siapa yang akan kita pilih. Kita hanya disajikan foto-foto narsis yang nongkrong dengan sangat norak di sepanjang jalan. Apa prestasi yang otentik dari sang calon, bagaimana integritas dan kredibilitasnya tak pernah kita tahu dengan baik. Kita hanya kenal nama-nama sang calon, ketika Sang Calon sudah memiliki syahwat kekuasaan untuk memimpin. Dan pasti semua informasi tersebut sudah sangat bias.

Oleh karena itu saatnya Banten Raya Post, dan media masa lokal lainnya masuk ke pelosok hati paling dalam pada masyarakat Banten. Tanpa itu, manfaat demokrasi yang telah menghabiskan pundi-pundi trilyunan rupiah, hanya menunggu tokek berhenti bertokek/berkokok, sambil menghitung-hitung dengan hati deg-degan: manfaat-mudhorot-manfaat-mudhorot-manfaat-mudhorot…….

(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah).

Baraya, 11 Mei 2010