Oleh: Sudarmono Moedjari
Saat gambar dan foto diri bertebaran di sepanjang jalan di seluruh Indonesia, saat pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah, penulis mendengar istilah “narsis” digunakan oleh banyak orang. Sebelumnya penulis belum pernah mendengar istilah tersebut digunakan secara masal.
Saat dicari di internet, penulis baru menyadari bahwa kata “narsis” berasal dari cerita pada mitologi Yunani. Dalam wikipedia diceritakan, kisah Narcissus – yang mendasari kata narsis – sebagai berikut: “Narcissus adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani. Narcissus diceritakan sebagai seorang dewa yang memiliki wajah tampan. Dia adalah anak dari dewa sungai, Cephissus. Ibunya adalah seorang bidadari bernama Liriope. Ketika Narcissus masih kecil, seorang peramal (Tiresias) berkata kepada kedua orang tuanya bahwa anak mereka akan berumur panjang apabila tidak melihat dirinya sendiri. Akibat ketampanannya banyak yang jatuh cinta kepada Narcissus. Salah satunya bidadari tersebut bernama Echo yang jatuh cinta kepadanya.
Tidak seorang pun yang dibalas cintanya oleh Narcissus. Demikian pula Echo. Echo hidup dalam kesendirian dan kesedihannya. Dewi Nemmesis mendengar doa Echo yang cintanya ditolak tersebut. Nemessis mengutuk Narcissus supaya jatuh cinta kepada bayangannya sendiri. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Narcissus melihat bayangan dirinya di sebuah kolam. Dia tak henti-hentinya mengagumi sosok yang terlihat dari pantulan air di kolam itu. Sampai matinya dia terus memandangi bayangan dirinya tersebut”
Diceritakan juga di wikipedia, istilah “narsis” ternyata sudah diadopsi dalam dunia psikiatri Freudian dan psikoanalisis. Terminologi “narsisme” merujuk pada tingkat self-esteem (penghargaan terhadap diri sendiri) yang berlebihan, suatu kondisi yang biasanya terbentuk dari ketidakmatangan emosional.
***
Terlepas dari benar dan tidaknya gejala narsis yang disampaikan diatas. Penulis hanya ingin menggarisbawahi gejala maraknya pemasangan foto diri tersebut dari perspektif perkembangan teknologi digital dan kesiapan perubahan budaya serta tata etika di masyarakat akibat revolusi teknologi digital tersebut. Maraknya foto-foto diri diatas, tidak bisa dipisahkan dari teknologi reproduksi (printing) yang semakin murah. Poster ukuran 1 meter persegi, saat ini bisa diproduksi hanya dengan merogoh kocek tidak sampai Rp 50.000,-. Biaya tersebut sudah termasuk media, dan separasi warna. Bahkan kebanyakan percetakan menawarkan jasa tambahan berupa seting tata letak dan desain visual secara gratis.
Berbarengan dengan revolusi teknologi reproduksi, teknologi “image processing” juga mengalami loncatan yang luar biasa. 5-10 tahun lalu, foto digital masih dianggap barang langka. Kapasitas foto maksimal seukuran kartu pos. Saat ini, teknologi digital sudah melampau ukuran 25 MB, atau setara dengan ukuran banner yang sangat besar. Dan kehadiran foto digital tidak hanya untuk keperluan foto yang remeh-temeh. Produsen kamera papan atas yang sudah dikenal luas sejak awal abad 20, seperti NIKON, CANON, Olympus, FUJI, juga telah merubah arah produksinya yang sebelumnya berbasiskan analog menjadi kamera berbasis digital. Mereka menciptakan kamera digital tidak hanya untuk kamera saku, tetapi juga untuk kamera-kamera berbasis SLR – Single Lens Refrector. Kamera inilah yang biasa dipakai oleh mereka yang berprofesi fotografer. Dampak langsung bagi pemakai adalah biaya produksi yang jauh lebih murah (tanpa membeli negatif film, tanpa perlu mencuci), juga kesempatan untuk memotret tanpa perlu menunggu fotografer profesional. Jeprat-jepret sendiri, dilihat hasilnya sendiri, kalau kurang bagus dihapus saja, dan mencoba berakting sendiri tanpa perlu ada orang lain yang tahu.
Faktor kemudahan, biaya yang murah, peralatan bisa didapat dengan gampang, telah menyebabkan produksi “image” tumbuh luar biasa. Apalagi semua bisa dioperasikan sendiri (self service). Pertumbuhan pemakaian teknologi yang luar biasa ini, pada batas tertentu membuat masyarakat “lupa daratan”. Lupa akan adanya tata krama, tata nilai, lupa pada batasan ruang dan waktu. Kasus berbagai penyimpangan di facebook, beredarnya video mesum, dan lain sebagainya harus dibaca sebagai gegar peradaban yang harus dikaji secara serius. Sayangnya, gegar peradaban ini tidak banyak disadari, dan tidak banyak yang mempelajari. Apakah nanti menuju ke perkembangan yang positif atau negarif. Tanpa kajian mendalam, jangan salah apabila kita masuk jurang bersama-sama.
(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah)
