Sabtu, 05 Juni 2010

Narsis


Oleh: Sudarmono Moedjari


Saat gambar dan foto diri bertebaran di sepanjang jalan di seluruh Indonesia, saat pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah, penulis mendengar istilah “narsis” digunakan oleh banyak orang. Sebelumnya penulis belum pernah mendengar istilah tersebut digunakan secara masal.

Saat dicari di internet, penulis baru menyadari bahwa kata “narsis” berasal dari cerita pada mitologi Yunani. Dalam wikipedia diceritakan, kisah Narcissus – yang mendasari kata narsis – sebagai berikut: “Narcissus adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani. Narcissus diceritakan sebagai seorang dewa yang memiliki wajah tampan. Dia adalah anak dari dewa sungai, Cephissus. Ibunya adalah seorang bidadari bernama Liriope. Ketika Narcissus masih kecil, seorang peramal (Tiresias) berkata kepada kedua orang tuanya bahwa anak mereka akan berumur panjang apabila tidak melihat dirinya sendiri. Akibat ketampanannya banyak yang jatuh cinta kepada Narcissus. Salah satunya bidadari tersebut bernama Echo yang jatuh cinta kepadanya.

Tidak seorang pun yang dibalas cintanya oleh Narcissus. Demikian pula Echo. Echo hidup dalam kesendirian dan kesedihannya. Dewi Nemmesis mendengar doa Echo yang cintanya ditolak tersebut. Nemessis mengutuk Narcissus supaya jatuh cinta kepada bayangannya sendiri. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Narcissus melihat bayangan dirinya di sebuah kolam. Dia tak henti-hentinya mengagumi sosok yang terlihat dari pantulan air di kolam itu. Sampai matinya dia terus memandangi bayangan dirinya tersebut”

Diceritakan juga di wikipedia, istilah “narsis” ternyata sudah diadopsi dalam dunia psikiatri Freudian dan psikoanalisis. Terminologi “narsisme” merujuk pada tingkat self-esteem (penghargaan terhadap diri sendiri) yang berlebihan, suatu kondisi yang biasanya terbentuk dari ketidakmatangan emosional.

***

Terlepas dari benar dan tidaknya gejala narsis yang disampaikan diatas. Penulis hanya ingin menggarisbawahi gejala maraknya pemasangan foto diri tersebut dari perspektif perkembangan teknologi digital dan kesiapan perubahan budaya serta tata etika di masyarakat akibat revolusi teknologi digital tersebut. Maraknya foto-foto diri diatas, tidak bisa dipisahkan dari teknologi reproduksi (printing) yang semakin murah. Poster ukuran 1 meter persegi, saat ini bisa diproduksi hanya dengan merogoh kocek tidak sampai Rp 50.000,-. Biaya tersebut sudah termasuk media, dan separasi warna. Bahkan kebanyakan percetakan menawarkan jasa tambahan berupa seting tata letak dan desain visual secara gratis.

Berbarengan dengan revolusi teknologi reproduksi, teknologi “image processing” juga mengalami loncatan yang luar biasa. 5-10 tahun lalu, foto digital masih dianggap barang langka. Kapasitas foto maksimal seukuran kartu pos. Saat ini, teknologi digital sudah melampau ukuran 25 MB, atau setara dengan ukuran banner yang sangat besar. Dan kehadiran foto digital tidak hanya untuk keperluan foto yang remeh-temeh. Produsen kamera papan atas yang sudah dikenal luas sejak awal abad 20, seperti NIKON, CANON, Olympus, FUJI, juga telah merubah arah produksinya yang sebelumnya berbasiskan analog menjadi kamera berbasis digital. Mereka menciptakan kamera digital tidak hanya untuk kamera saku, tetapi juga untuk kamera-kamera berbasis SLR – Single Lens Refrector. Kamera inilah yang biasa dipakai oleh mereka yang berprofesi fotografer. Dampak langsung bagi pemakai adalah biaya produksi yang jauh lebih murah (tanpa membeli negatif film, tanpa perlu mencuci), juga kesempatan untuk memotret tanpa perlu menunggu fotografer profesional. Jeprat-jepret sendiri, dilihat hasilnya sendiri, kalau kurang bagus dihapus saja, dan mencoba berakting sendiri tanpa perlu ada orang lain yang tahu.

Faktor kemudahan, biaya yang murah, peralatan bisa didapat dengan gampang, telah menyebabkan produksi “image” tumbuh luar biasa. Apalagi semua bisa dioperasikan sendiri (self service). Pertumbuhan pemakaian teknologi yang luar biasa ini, pada batas tertentu membuat masyarakat “lupa daratan”. Lupa akan adanya tata krama, tata nilai, lupa pada batasan ruang dan waktu. Kasus berbagai penyimpangan di facebook, beredarnya video mesum, dan lain sebagainya harus dibaca sebagai gegar peradaban yang harus dikaji secara serius. Sayangnya, gegar peradaban ini tidak banyak disadari, dan tidak banyak yang mempelajari. Apakah nanti menuju ke perkembangan yang positif atau negarif. Tanpa kajian mendalam, jangan salah apabila kita masuk jurang bersama-sama.

(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah)

Keberpihakan


Oleh: Sudarmono Moedjari

Dalam 5 tahun terakhir ini, tiap kali tahun ajaran berakhir, setiap siswa dan orang tua siswa yang akan mengakhiri jenjang pendidikan, apakah SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA dibuat bingung. Berbagai perubahan selalu terjadi pada dunia pendidikan kita, hampir setiap tahun. Berbagai keterkejutan dapat dimulai dari pola ujian nasional yang berubah. Hampir tiap tahun selalu ada “pendekatan” baru. Angka minimal kelulusan selalu meningkat. Jadwal ujian dipercepat. Diberlalukannya ujian susulan. Ada pula ujian ulang, dan seterusnya, dan seterusnya.

Usai hiruk pikuk ujian nasional, siswa dan orang tua siswa dihadapkan pada hiruk pikuk mencari kelanjutan pendidikan. Bagi sebagian masyarakat kita yang tidak terlalu mampu, pertanyaan dasar harus dijawab lebih dahulu: melanjutkan pendidikan atau tidak. Dalam jaman seperti sekarang ini, tidak semua keluarga memiliki spirit yang sama untuk habis-habisan menyekolahkan anak. Apalagi ditengah ketidak mampuan ekonomi. Pendidikan tidak dianggap sebagai pintu masuk untuk melakukan perubahan hidup keluarga. Pandangan seperti ini menjadi shahih ketika beberapa tetangga yang lulus sekolah (apapun tingkatannya) ternyata tidak membawa dampak perubahan bagi kehidupan keluarga. Akumulasi tekanan ekonomi keluarga, gizi buruk, rendahnya semangat untuk melanjutkan sekolah, dan ketidak tahuan menjadikan pergerakan kelas sosial keluarga miskin macet ditengah jalan.

Pada sisi lain, liberalisasi pendidikan sudah demikian masif terjadi. Saat ini, sudah menjadi pemahaman umum bahwa pendidikan yang baik memerlukan biaya yang mahal. Di perguruan tinggi negeri, bila masa lalu kita hanya mengenal 1 jalur masuk, saat ini beragam jalur masuk tersedia. Dan dalam jumlah yang lebih besar, selalu memerlukan biaya yang sangat mahal. Di ITB, UI, setidaknya penulis menghitung, untuk menyelesaikan pendidikan S1, kita harus menyiapkan kantong paling tidak Rp 100 juta hanya untuk biaya ke perguruan tinggi yang bersangkutan. Artinya, masih diperlukan sejumlah uang untuk biaya hidup, biaya akomodasi, biaya bermacam-macam literatur yang diperlukan, dan biaya-biaya lainnya. Pendek kata, diperlukan “nyali” yang sangat kuat untuk menggerakkan kelas sosial bagi keluarga miskin.

Dalam kemelut perubahan ini, adalah suatu oase di tengah padang pasir, ketika seorang Ketua Jurusan dari sebuah perguruan tinggi papan atas di Jawa Timur mengungkapkan keberpihakan pada masyarakat kurang mampu. Meskipun mereka membuka kesempatan bagi calon mahasiswa “kaya” dengan test masuk jalur berpembiayaan mandiri dan jalur kemitraan, tetapi untuk kuota jumlah mahasiswa yang diterima di jalur SNMPTN dan jalur untuk fakir tetap dipertahankan. Memang untuk jalur SNMPTN dikurangi, tetapi jalur untuk mahasiswa miskin dibuka sangat lebar, dengan beberapa jalur beasiswa.

Memang, dalam kemelut perubahan, sikap kepedulian saja tidak cukup. Perlu sikap keberpihakan. Pada spirit yang sama, Penulis yang mendapat amanah untuk membantu PB Al Khairiyah mengembangkan pendidikan tinggi di lingkungan Al Khairiyah berusaha agar semua pihak juga memiliki keberpihakan yang sama. Ada beberapa alasan kuat mengapa keberpihakan pada Al Khairiyah harus dibuka. Pertama, Al Khairiyah adalah organisasi nir laba, tidak mencari keuntungan. Kedua, Al Khairiyah adalah milik ummat Islam, mayoritas ummat di Cilegon dan Banten. Ketiga, Al Khairiyah adalah ikon penggerak perang kemerdekaan di kawasan Banten. Keempat, pada saat ini posisi Al Khairiyah relatif sangat marginal, padahal ditengah-tengah tantangan perubahan masyarakat yang sangat cepat dan dinamis di Cilegon dan Banten ini diperlukan oase tempat acuan dan aduan apabila permasalahan kemasyarakatan muncul.

Oleh karena itu, dalam konteks diatas, keberanian ITS untuk bekerjasama dengan STIKOM Al Khairiyah – salah satu sayap amal sosial PB Al Khairiyah – patut mendapatkan acungan jempol. Sebagai penjabat Pembantu Dekan IV Fakultas Teknologi Informasi ITS, Bapak Khakim Ghozali tahu persis, bagaimana keterbatasan STIKOM Al Khairiyah. Fasilitas sangat minim dan berbagai keterbatasan menyelimuti perguruan tinggi ini, apalagi bila dibandingkan dengan ITS Surabaya. Keberanian ini harus dimaknai sebagai keberpihakan ITS, keberpihakan Pak Khakim Ghozali, atas kemajuan Cilegon, kemajuan Al Khairiyah.

Semoga STIKOM Al-Khairiyah kelak seperti Universitas Bangkalan. Sebuah universitas swasta di Madura, yang telah dinegerikan bersamaan dengan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Sebuah cerita sukses dari Pak Khakim Ghozali ketika harus membantu perguruan tinggi tersebut, 20 tahun yang lalu. Suatu kondisi fisik yang persis seperti STIKOM Al Khairiyah saat ini.

Tanpa sikap keberpihakan, masyarakat miskin yang tak mampu kuliah di luar kota, tetap saja buta dan fakir. Mari kita bangun bersama-sama.

(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah)