Selasa, 24 Agustus 2010

Titik Balik


PDFPrintE-mail


Lelaki itu tertunduk diam. Perasaan gamang menyelimuti seluruh tubuhnya yang kian tua. Dilema besar harus dia selesaikan, dilema yang belum pernah dia rasakan selama berkiprah selama puluhan tahun dalam organisasi kemasyarakatan. Dilema yang membenturkan nilai-nilai pelajaran hidup dari nenek moyang dan lingkungan lama dengan tuntutan hidup masyarakat yang sekarang mempercayakannya sebagai Sang Pemimpin. Nenek moyangnya telah mengajarkan nilai tinggi pada harga diri, martabat, etika berorganisasi. Nilai-nilai yang harus berhadapan dengan tuntutan masyarakatnya yang dalam –kacamata pribadi- sangat tidak elok Tidaklah lazim apabila kita kalah dalam pertempuran, kita meminta pampasan perang, meskipun dengan landasan ketidak tepatan strategi yang diusung Sang Komandan Pasukan, atau alasan-alasan lain yang dapat dianggap shahih.

Puluhan prajurit dengan semangat kelaparan telah bersiaga untuk menuntut bela, kemanapun, kepada siapapun, dengan atau tanpa kawalan Sang Pemimpin. Pampasan perang harus didapatkan! Kompi lain yang juga kalah perang telah mendapatkan persetujuan untuk mendapatkan pampasan perang sebesar setengah kali, mengapa kita tidak, bukankah kita bertempur dalam satu kapal induk yang sama? Bukankah kita juga telah lelah bertempur? Bukankah nilai pertempuran kita tidak kalah strategisnya dengan kompi mereka? Berbagai logika pembenaran atas tuntutan telah mensyahkan langkah dan gerak mereka. Apalagi mendengar rumor prajurit pada pasukan induk akan mendapatkan pampasan perang sebesar sepuluh kali. Batin pasukan ini menjadi tercabik-cabik bila mengingat beban pekerjaan prajurit pada kapal induk tidak selalu lebih berat dari pasukkannya.

“Enam puluh tahun diktator berkuasa lebih baik daripada sehari chaos” kata-kata Sang Guru kembali terngiang-ngiang di telinga Sang Pemimpin. Keutuhan pasukan harus tetap terjaga. Kondisi chaos hanya akan menimbulkan anarkisme. Pasukan harus tetap dikomando! Birokrasi harus tetap dihargai. Ketika barisan prajurit sampai pada Komandan Pasukan, dan Komandan Pasukan tidak mungkin meloloskan tuntutannya, maka dengan santun beberapa prajuritnya memohon agar pasukan dapat menghadap langsung pada Panglima Perang. Panglima Perangpun akhirnya bersedia menerima pasukan. Janji perjamuanpun segera ditetapkan.

“Berilah oleh-oleh, meskipun hanya selembar kertas” kembali Sang Pemimpin teringat pada pesan mantan Manajernya. “Kita akan menghadap Sang Panglima, suatu kesempatan emas yang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja”. Kebiasaan berotak-atik-otak dicoba dituangkan dalam selembar kertas sebagai oleh-oleh pada saat pertemuan dengan Sang Panglima. Judul menjadi bagian kunci dalam artikulasi arah perjuangan hidup. Dengan judul kita bisa meraih sorga, dengan judul pula kita bisa terperosok ke neraka. Dengan judul kita bisa tahu gelora apa yang tersirat dibalik kata-kata. Akhirnya selesai juga bahan oleh-oleh pada Sang Panglima, dan oleh-oleh itu berjudul “Curahan Hati ke Pemegang Saham”. Bukan tuntutan, bukan pernyataan , bukan deklarasi! Surat itu hanyalah Curahan Hati prajurit.

“Bapak, penderitaan pasukan kami ini bagaikan Bangsa Palestina. Tempat mengayuh hiduppun hanya menumpang, tanpa selembar suratpun yang bisa kami andalkan. Rata-rata usia kami semakin senja. Kian hari nasib kami kian dhuafa…” Sang Panglima Besarpun bertitah “Teruskan perjuangan, jaga kondisifitas pasukan, kami beserta Panglima-panglima lainnya akan berupaya menyelesaikan masalah tersebut”. Tidak berselang lama prajurit telah menerima keputusan tentang penghargaan pampasan perang. Dan tidak berselang lama pula pasukan menjadi bergeliat, bahkan pada tutup buku 2005, Komandan Pasukan Dhuafa ini telah menandatangani perjanjian jual beli markas komando yang baru. Sesuatu yang tak terbayangkan 2 tahun lalu, bahkan 3-4 bulan yang lalu. “Duh Gusti, terima kasih Engkau telah membantu kami menyelesaikan masalah pelik ini” Sang Pemimpin menutup satu tahapan layar kehidupan dengan satu catatan “tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, asal kita semua saling bekerja dengan tulus”, karena “Kesempurnaan Karya Cipta lahir dari Ketulusan” (darmono)