Selasa, 24 Agustus 2010

Titik Balik


PDFPrintE-mail


Lelaki itu tertunduk diam. Perasaan gamang menyelimuti seluruh tubuhnya yang kian tua. Dilema besar harus dia selesaikan, dilema yang belum pernah dia rasakan selama berkiprah selama puluhan tahun dalam organisasi kemasyarakatan. Dilema yang membenturkan nilai-nilai pelajaran hidup dari nenek moyang dan lingkungan lama dengan tuntutan hidup masyarakat yang sekarang mempercayakannya sebagai Sang Pemimpin. Nenek moyangnya telah mengajarkan nilai tinggi pada harga diri, martabat, etika berorganisasi. Nilai-nilai yang harus berhadapan dengan tuntutan masyarakatnya yang dalam –kacamata pribadi- sangat tidak elok Tidaklah lazim apabila kita kalah dalam pertempuran, kita meminta pampasan perang, meskipun dengan landasan ketidak tepatan strategi yang diusung Sang Komandan Pasukan, atau alasan-alasan lain yang dapat dianggap shahih.

Puluhan prajurit dengan semangat kelaparan telah bersiaga untuk menuntut bela, kemanapun, kepada siapapun, dengan atau tanpa kawalan Sang Pemimpin. Pampasan perang harus didapatkan! Kompi lain yang juga kalah perang telah mendapatkan persetujuan untuk mendapatkan pampasan perang sebesar setengah kali, mengapa kita tidak, bukankah kita bertempur dalam satu kapal induk yang sama? Bukankah kita juga telah lelah bertempur? Bukankah nilai pertempuran kita tidak kalah strategisnya dengan kompi mereka? Berbagai logika pembenaran atas tuntutan telah mensyahkan langkah dan gerak mereka. Apalagi mendengar rumor prajurit pada pasukan induk akan mendapatkan pampasan perang sebesar sepuluh kali. Batin pasukan ini menjadi tercabik-cabik bila mengingat beban pekerjaan prajurit pada kapal induk tidak selalu lebih berat dari pasukkannya.

“Enam puluh tahun diktator berkuasa lebih baik daripada sehari chaos” kata-kata Sang Guru kembali terngiang-ngiang di telinga Sang Pemimpin. Keutuhan pasukan harus tetap terjaga. Kondisi chaos hanya akan menimbulkan anarkisme. Pasukan harus tetap dikomando! Birokrasi harus tetap dihargai. Ketika barisan prajurit sampai pada Komandan Pasukan, dan Komandan Pasukan tidak mungkin meloloskan tuntutannya, maka dengan santun beberapa prajuritnya memohon agar pasukan dapat menghadap langsung pada Panglima Perang. Panglima Perangpun akhirnya bersedia menerima pasukan. Janji perjamuanpun segera ditetapkan.

“Berilah oleh-oleh, meskipun hanya selembar kertas” kembali Sang Pemimpin teringat pada pesan mantan Manajernya. “Kita akan menghadap Sang Panglima, suatu kesempatan emas yang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja”. Kebiasaan berotak-atik-otak dicoba dituangkan dalam selembar kertas sebagai oleh-oleh pada saat pertemuan dengan Sang Panglima. Judul menjadi bagian kunci dalam artikulasi arah perjuangan hidup. Dengan judul kita bisa meraih sorga, dengan judul pula kita bisa terperosok ke neraka. Dengan judul kita bisa tahu gelora apa yang tersirat dibalik kata-kata. Akhirnya selesai juga bahan oleh-oleh pada Sang Panglima, dan oleh-oleh itu berjudul “Curahan Hati ke Pemegang Saham”. Bukan tuntutan, bukan pernyataan , bukan deklarasi! Surat itu hanyalah Curahan Hati prajurit.

“Bapak, penderitaan pasukan kami ini bagaikan Bangsa Palestina. Tempat mengayuh hiduppun hanya menumpang, tanpa selembar suratpun yang bisa kami andalkan. Rata-rata usia kami semakin senja. Kian hari nasib kami kian dhuafa…” Sang Panglima Besarpun bertitah “Teruskan perjuangan, jaga kondisifitas pasukan, kami beserta Panglima-panglima lainnya akan berupaya menyelesaikan masalah tersebut”. Tidak berselang lama prajurit telah menerima keputusan tentang penghargaan pampasan perang. Dan tidak berselang lama pula pasukan menjadi bergeliat, bahkan pada tutup buku 2005, Komandan Pasukan Dhuafa ini telah menandatangani perjanjian jual beli markas komando yang baru. Sesuatu yang tak terbayangkan 2 tahun lalu, bahkan 3-4 bulan yang lalu. “Duh Gusti, terima kasih Engkau telah membantu kami menyelesaikan masalah pelik ini” Sang Pemimpin menutup satu tahapan layar kehidupan dengan satu catatan “tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, asal kita semua saling bekerja dengan tulus”, karena “Kesempurnaan Karya Cipta lahir dari Ketulusan” (darmono)

Sabtu, 03 Juli 2010

Kemajuan Teknologi Informasi untuk Membangun Peradaban Baru Muslim

Oleh: Sudarmono Moedjari

Sesaat setelah Rasulullah wafat. Di kalangan Ummat Islam sudah mulai terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Dimulai dari dikotomi kaum pendatang vs kaum “putra daerah”, berlanjut ke perbedaan pandangan antara kaum Ahlulbait (“darah biru”) vs non ahlul bait dalam penentuan kekhalifahan setelah Rasulullah. Meskipun pada periode pemilihan khalifah pertama, Abu Bakar telah terjadi kompromi politik. Tetapi masalah tidak selesai disana.

Pertumbuhan pemeluk ummat Islam yang luar biasa akibat “pembebasan” negeri-negeri baru semakin meningkatkan potensi konflik. Potensi konflik terjadi antara lain karena pemahaman keagamaan yang masih rendah, juga proses peng-“Islaman” mereka tidak selalu didasari atas kesadaran penuh akan keunggulan agama baru tersebut. Sebagai imperium baru yang sangat solid, mayoritas masyarakat akan merasa masygul kalau tidak mengikuti arah perubahan politik, dengan merubah agama lama ke agama baru.

Friksi-friksi diatas diperparah dengan ketidak tegasan Khalifah Utsman, dan intrik-intrik keluarga Khalifah dalam pemerintahan. Nepotisme ini menimbulkan fitnah di kalangan ummat berkembang semakin liar. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab, Umar Ibnu Al Ash dengan keluraga Utsman, Abdullah ibnu Sa'd, mengakibatkan ketidak nyamanan. Kelompok yang tidak puas ini akhirnya membentuk pasukan pemberontakan dan mengirimkan ke Madinah. Madinahpun dikepung oleh kaum pemberontak. Ruang gerak Ustman diperkecil. Beliau dikepung dari segala penjuru.

Meskipun Khalifah dilindungi oleh sahabat-sahabatnya – termasuk anak Ali, tetapi pada akhirnya pemberontak berhasil membunuh Khalifah Ustman. Inilah yang disebut dengan Al Fitnatul Kubro yang pertama. Peristiwa ini telah melukai hati bagi banyak sahabat.

Ketika Utsman wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Meskipun berat, Ali harus tampil kedepan untuk mengisi kekosongan jabatan Khalifah. Dia harus menjadi penengah bagi kaum yang bersengketa. Tetapi pemahaman dan informasi tidak seimbang. Rumorpun berkembang semakin tidak terkendali. Keinginan untuk menenangkan masyarakat dan mencari keadilan yang seadil-adilnya telah ditanggapi keliru. Tuntutan agar menindak tegas kaum pemberontah harus berhadapan dengan pertimbangan bahwa jumlah pengikut pemberontak sangat banyak, dan berpotensi menimbulkan “back fire”.

Akhirnya kaum yang tidak puas atas kebijakan Khalifah Ali membentuk pasukan tandingan. Bersama Tholhah, Zubeir dan Aisyah mereka melakukan perlawanan. Tetapi kepiawaan Ali dalam berperang jauh diatas kemampuan gabungan pasukan ketiganya. Tholhah dan Zubeirpun gugur di medan laga. Bukan gugur saat melawan kaum musyrikin, tetapi melawan saudara-saudara seperjuangan waktu membebaskan kota Mekah.

Tentangan kedua datang dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman. Dia menuntut Ali agar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Beberapa waktu kemudian, ketika tuntutannya tidak dipenuhi dia malahan menuduh Ali turut serta dalam pembunuhan tersebut. Apalagi ketika salah seorang pemimpin pemberontakan, Ibnu Abi Bakr mendapatkan promosi menjadi Gubernur Mesir. Terjadilah perang Shiffin. Korbanpun berjatuhan. Tetapi lagi-lagi, Ali bin Abi Thalib yang merupakan pemimpin militer yang andal, dapat mendesak tentara Mu'awiyah. Kesadaran bahwa perang ini harus mengorbankan saudara seagama, memaksa Ali menawarkan pertandingan satu lawan satu. Antara Ali dan Mu’awiyah. Pemenangnya berhak atas tahta Khalifah.

Kepiawaian Ali atas ketangguhan dalam perkelahian satu lawan satu, membuat hati Mu’awiyah gentar. Maka Amr bin Ash’ menawarkan diri untuk menggantikan posisi Mu’awiyah sebagaim petarung melawan Ali. Pertarungan Ali dan Amr bin Ash’ pun terjadi. Pertarungan terjadi diatas kuda masing-masing. Tibalah saat klimaks, pedang Ali siap menebas kepala Amr. Tetapi dengan licik Amr menjatuhkan diri dari kudanya, dan berlutut minta ampun kepada Ali. Saat itu pula Ali memberikan ma’af pada Amr.

Sayang, momen tersebut tidak ditindak lanjutkan ke penyerahan diri, sehingga pertempuran antar pasukanpun dilanjutkan. Tetapi tetap, semakin lama pasukan Syam semakin terdesak. Tinggal selangkah lagi kemenangan Pasukan Khalifah akan memenangkan pertempuran. Pada saat inilah peranan kelicikan Amr muncul kembali. Dia sampaikan muslihat barunya ke hadapan Mu’awiyah. “Angkatlah Mushaf di atas ujung tombak dan ajaklah Ali bertahkim (berdamai dengan berpedoman) kepada Al Qur’an. Kalau mereka bersedia, tentulah mereka berselisih dan jika mereka menolak, pastilah akan berselisih pula….!” (1)

Siasat Amr membuahkan hasil, perselisihan diantara pasukan Ali mulai terjadi. Meskipun Ali tahu bahwa permintaan Amr hanya muslihat, tetapi karena desakan Asy’at, Ali menyetujui genjatan senjata, dan dimulailah babak baru perundingan antara pasukan Ali dan Mu’awiyah, ditengah kemasygulan Asytar yang tinggal selangkah lagi memukul habis pasukan Mu’awiyah.

Blunder Asy’at kembali terjadi, ketika dia mengusulkan nama Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi ketua juru runding pihak Ali. Asy’at menafikan usulan Amirul Mu’minin yang akan menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai juru runding. Akhirnya perundinganpun dimulai.

Ujung dari perundingan, kedua belah pihak sepakat agar kedua pemimpin mengundurkan diri dari jabatan mereka selaku khalifah masing-masing. Dan kemudian menyelenggarkan musyawarah Kaum Muslimin untuk memilih khalifah dan Imam mereka.

Prosesi deklarasi pemakzulan dimulai, Amr bin ‘Ash meminta agar Abu Musa al-Asy’ari memulai lebih dulu. Dan Abu Musa-pun menyampaikan pemakzulan Ali dan Mu’awiyah. Setelah itu tampilah Amr bin Ash menyampaikan pidatonya:

“Sesungguhnya Abu Musa, sebagaimana yang telah saudara-saudara saksikan telah memakzulkan pemimpinnya, Ali bin Abi Thalib, dan sayapun menyatakan hal yang sama. Selanjutnya menetapkan Mu’awiyah, hingga ialah yang menjadi khalifah dan Amirul Mukminin yang bertanggungjawab terhadap penuntutan darah Ustman bin Affan. Oleh karena itu bai’atlah tuan-tuan kepadanya…..”

Melihat penipuan secara terang-terangan, Abu Musa sangat marah. Dan perundinganpun berakhir dengan tanda tanya besar, akan dibawa kemana ummat setelah ini. Bila pada akhirnya terjadi Fitnatul al Kubro kedua, terbunuhnya Ali bin Abi Thalib oleh seorang anggota Khawarij. Dan bila skala sejarah mencatat bahwa inilah titik balik terjadinya skisme dalam Islam, terpecahnya ummat menjadi Syi’ah dan Sunni, harus diakui inilah fakta-fakta yang bisa kita baca sekarang.

***

Ilustrasi sejarah diatas sangat detail, bahkan kata perkata dapat terekam dengan sangat baik. Kemampuan Ummat Islam periode awal dalam tulis-menulis jelas menjadi kekuatan tersendiri. Juga daya hafal sangat luar biasa. Ribuan ayat Al Qur’an dan ratusan kutipan Al Hadits beserta matan dan sanadnya mampu dihafal dengan sangat baik.

Akan tetapi, konteks teknologi saat ini telah menjungkir balikkan tatanan mapan masyarakat lama. Dalam konteks ilustrasi diatas, arah sejarah Ummat akan menjadi lain, bila teknologi komunikasi secanggih abad ini. Televisi bisa siaran langsung. Seluruh berita dapat dilihat bagaikan kita menjadi reporter itu sendiri. Bila seluruh episode keculasan Amr dapat dilihat di layar kaca dan diterima di seluruh negeri, opini ummat bisa berbeda. Pihak-pihak pendukung Mu’awiyah akan terpojok oleh opini.

Andaikan kebijakan-kebijakan Utsman dapat disampaikan lewat media masa, bisa jadi ummat akan faham tentang mengapa Utsman mengambil keputusan tertentu sehingga terkesan nepotisme. Dalam banyak literatur Penulis membaca bahwa kebijakan Ustman sangat logis ketika menunjuk keluarganya menjadi pejabat negara.

***

Jadi, bahwa perkembangan komputer 30 tahun terakhir ini sangat pesat, tidak seorangpun mampu membantah. Betapa tidak, bila 30 tahun yang lalu komputer masih sebesar gajah masuk angin. Sekarang, komputer setebal buku notes sudah memiliki kemampuan yang luar biasa. Perkembangan tersebut tidak hanya pada satu komponen. Semua komponen telah berkembang sangat pesat, dari kemampuan maupun pengecilan ukuran komponen tersebut.

Prosesor 20 tahun lalu, baru tahapan “8086”, dengan kecepatan sekitar 1 Mega Hertz (1 MHz), sekarang kecepatan prosesor sudah melampui 30.000 kali lipat. Harddisk, 20 tahun lalu baru sekitar 10 Megabyte, sekarang ukurannya meningkat menjadi 200 GigaByte – atau meningkat lebih dari 20.000 kali lipat, inipun yang tersedia di pasaran umum, kapasitas harddisk untuk industri tentu jauh diatas itu.

Kemajuan itu juga telah “membunuh” teknologi-teknologi yang dikenal pada 20 tahun yang lalu. Diskette 8 inchi, yang selanjutnya mengecil menjadi sekitar 5 inchi, dan beradaptasi menjadi 3,5 inchi, saat ini sudah tidak mampu beradaptasi lagi, dan dengan rela hati untuk masuk museum. Saat ini media penyimpanan sudah beralih dengan “flash disk”. Saat ini, hanya dengan uang sekitar Rp 100.000,-, Anda sudah bisa membawa medium ini dengan kapasitas diatas 4 GigaByte, atau 4.000 Megabyte. Sebagai pembanding, harddisk 3,5 inchi hanya mampu menampung 1,3 Megabyte.

Sudah pasti, perubahan-perubahan tersebut telah merubah perilaku manusia sehari-hari. Untuk menyelesaikan PR - Pekerjaan Rumah siswa-siswi SMP, SMA, SMK, MA saat ini telah terbiasa dengan tugas yang harus dikumpulkan menggunakan “file”, atau “softcopy”. Bahkan sekarang sudah mulai dibiasakan dengan kewajiban siswa-siswi untuk mengirimkan jawaban dengan menggunakan email.

Di dunia lain, kalau kita mengikuti pengajian-pengajian di musholla, masjid, atau bahkan di sebagian besar pesantren kita, metode pembelajarannya tidak beranjak sejak dahulu kala. Kalau kita membaca sejarah, bagaimana KH Achmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, atau KH Syam’un menyampaikan pengajian, cara pembelajarannya masih persis sama dengan pengajian yang kita ikuti sekarang. Kalaupun berbeda, kalau dahulu kala cara menulis menggunakan papan tulis hitam (black board), dengan kapur warna putih. Sekarang para Ustadz, Guru Ngaji menggunakan papan tulis putih (white board), dan “spidol” (bisa hitam, atau berwarna). Penulis belum pernah melihat para Ustadz menggunakan teknologi modern untuk menjelaskan materi pengajaran. Kalaupun ada, hanya di televisi, atau pengajian yang “mahal-mahal”, peserta harus membayar perpaket dengan harga tertentu. Efek-efek komunikasi visual, dan multimedia sangat jarang kita dapatkan pada pengajian umum yang “gratis”.

Apakah pemakaian teknologi tidak diperlukan? Apakah tidak akan membantu meningkatkan pemahaman kita pada bidang kajian keagamaan? Atau apakah pemakaian teknologi dianggap sebagai katagori “bid’ah” yang menyesatkan? Tentu sangat menarik untuk didiskusikan.

(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah, Manajer SBU Aplikasi Bisnis – PT. Krakatau Information Technology)

Sabtu, 05 Juni 2010

Narsis


Oleh: Sudarmono Moedjari


Saat gambar dan foto diri bertebaran di sepanjang jalan di seluruh Indonesia, saat pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah, penulis mendengar istilah “narsis” digunakan oleh banyak orang. Sebelumnya penulis belum pernah mendengar istilah tersebut digunakan secara masal.

Saat dicari di internet, penulis baru menyadari bahwa kata “narsis” berasal dari cerita pada mitologi Yunani. Dalam wikipedia diceritakan, kisah Narcissus – yang mendasari kata narsis – sebagai berikut: “Narcissus adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani. Narcissus diceritakan sebagai seorang dewa yang memiliki wajah tampan. Dia adalah anak dari dewa sungai, Cephissus. Ibunya adalah seorang bidadari bernama Liriope. Ketika Narcissus masih kecil, seorang peramal (Tiresias) berkata kepada kedua orang tuanya bahwa anak mereka akan berumur panjang apabila tidak melihat dirinya sendiri. Akibat ketampanannya banyak yang jatuh cinta kepada Narcissus. Salah satunya bidadari tersebut bernama Echo yang jatuh cinta kepadanya.

Tidak seorang pun yang dibalas cintanya oleh Narcissus. Demikian pula Echo. Echo hidup dalam kesendirian dan kesedihannya. Dewi Nemmesis mendengar doa Echo yang cintanya ditolak tersebut. Nemessis mengutuk Narcissus supaya jatuh cinta kepada bayangannya sendiri. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Narcissus melihat bayangan dirinya di sebuah kolam. Dia tak henti-hentinya mengagumi sosok yang terlihat dari pantulan air di kolam itu. Sampai matinya dia terus memandangi bayangan dirinya tersebut”

Diceritakan juga di wikipedia, istilah “narsis” ternyata sudah diadopsi dalam dunia psikiatri Freudian dan psikoanalisis. Terminologi “narsisme” merujuk pada tingkat self-esteem (penghargaan terhadap diri sendiri) yang berlebihan, suatu kondisi yang biasanya terbentuk dari ketidakmatangan emosional.

***

Terlepas dari benar dan tidaknya gejala narsis yang disampaikan diatas. Penulis hanya ingin menggarisbawahi gejala maraknya pemasangan foto diri tersebut dari perspektif perkembangan teknologi digital dan kesiapan perubahan budaya serta tata etika di masyarakat akibat revolusi teknologi digital tersebut. Maraknya foto-foto diri diatas, tidak bisa dipisahkan dari teknologi reproduksi (printing) yang semakin murah. Poster ukuran 1 meter persegi, saat ini bisa diproduksi hanya dengan merogoh kocek tidak sampai Rp 50.000,-. Biaya tersebut sudah termasuk media, dan separasi warna. Bahkan kebanyakan percetakan menawarkan jasa tambahan berupa seting tata letak dan desain visual secara gratis.

Berbarengan dengan revolusi teknologi reproduksi, teknologi “image processing” juga mengalami loncatan yang luar biasa. 5-10 tahun lalu, foto digital masih dianggap barang langka. Kapasitas foto maksimal seukuran kartu pos. Saat ini, teknologi digital sudah melampau ukuran 25 MB, atau setara dengan ukuran banner yang sangat besar. Dan kehadiran foto digital tidak hanya untuk keperluan foto yang remeh-temeh. Produsen kamera papan atas yang sudah dikenal luas sejak awal abad 20, seperti NIKON, CANON, Olympus, FUJI, juga telah merubah arah produksinya yang sebelumnya berbasiskan analog menjadi kamera berbasis digital. Mereka menciptakan kamera digital tidak hanya untuk kamera saku, tetapi juga untuk kamera-kamera berbasis SLR – Single Lens Refrector. Kamera inilah yang biasa dipakai oleh mereka yang berprofesi fotografer. Dampak langsung bagi pemakai adalah biaya produksi yang jauh lebih murah (tanpa membeli negatif film, tanpa perlu mencuci), juga kesempatan untuk memotret tanpa perlu menunggu fotografer profesional. Jeprat-jepret sendiri, dilihat hasilnya sendiri, kalau kurang bagus dihapus saja, dan mencoba berakting sendiri tanpa perlu ada orang lain yang tahu.

Faktor kemudahan, biaya yang murah, peralatan bisa didapat dengan gampang, telah menyebabkan produksi “image” tumbuh luar biasa. Apalagi semua bisa dioperasikan sendiri (self service). Pertumbuhan pemakaian teknologi yang luar biasa ini, pada batas tertentu membuat masyarakat “lupa daratan”. Lupa akan adanya tata krama, tata nilai, lupa pada batasan ruang dan waktu. Kasus berbagai penyimpangan di facebook, beredarnya video mesum, dan lain sebagainya harus dibaca sebagai gegar peradaban yang harus dikaji secara serius. Sayangnya, gegar peradaban ini tidak banyak disadari, dan tidak banyak yang mempelajari. Apakah nanti menuju ke perkembangan yang positif atau negarif. Tanpa kajian mendalam, jangan salah apabila kita masuk jurang bersama-sama.

(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah)

Keberpihakan


Oleh: Sudarmono Moedjari

Dalam 5 tahun terakhir ini, tiap kali tahun ajaran berakhir, setiap siswa dan orang tua siswa yang akan mengakhiri jenjang pendidikan, apakah SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA dibuat bingung. Berbagai perubahan selalu terjadi pada dunia pendidikan kita, hampir setiap tahun. Berbagai keterkejutan dapat dimulai dari pola ujian nasional yang berubah. Hampir tiap tahun selalu ada “pendekatan” baru. Angka minimal kelulusan selalu meningkat. Jadwal ujian dipercepat. Diberlalukannya ujian susulan. Ada pula ujian ulang, dan seterusnya, dan seterusnya.

Usai hiruk pikuk ujian nasional, siswa dan orang tua siswa dihadapkan pada hiruk pikuk mencari kelanjutan pendidikan. Bagi sebagian masyarakat kita yang tidak terlalu mampu, pertanyaan dasar harus dijawab lebih dahulu: melanjutkan pendidikan atau tidak. Dalam jaman seperti sekarang ini, tidak semua keluarga memiliki spirit yang sama untuk habis-habisan menyekolahkan anak. Apalagi ditengah ketidak mampuan ekonomi. Pendidikan tidak dianggap sebagai pintu masuk untuk melakukan perubahan hidup keluarga. Pandangan seperti ini menjadi shahih ketika beberapa tetangga yang lulus sekolah (apapun tingkatannya) ternyata tidak membawa dampak perubahan bagi kehidupan keluarga. Akumulasi tekanan ekonomi keluarga, gizi buruk, rendahnya semangat untuk melanjutkan sekolah, dan ketidak tahuan menjadikan pergerakan kelas sosial keluarga miskin macet ditengah jalan.

Pada sisi lain, liberalisasi pendidikan sudah demikian masif terjadi. Saat ini, sudah menjadi pemahaman umum bahwa pendidikan yang baik memerlukan biaya yang mahal. Di perguruan tinggi negeri, bila masa lalu kita hanya mengenal 1 jalur masuk, saat ini beragam jalur masuk tersedia. Dan dalam jumlah yang lebih besar, selalu memerlukan biaya yang sangat mahal. Di ITB, UI, setidaknya penulis menghitung, untuk menyelesaikan pendidikan S1, kita harus menyiapkan kantong paling tidak Rp 100 juta hanya untuk biaya ke perguruan tinggi yang bersangkutan. Artinya, masih diperlukan sejumlah uang untuk biaya hidup, biaya akomodasi, biaya bermacam-macam literatur yang diperlukan, dan biaya-biaya lainnya. Pendek kata, diperlukan “nyali” yang sangat kuat untuk menggerakkan kelas sosial bagi keluarga miskin.

Dalam kemelut perubahan ini, adalah suatu oase di tengah padang pasir, ketika seorang Ketua Jurusan dari sebuah perguruan tinggi papan atas di Jawa Timur mengungkapkan keberpihakan pada masyarakat kurang mampu. Meskipun mereka membuka kesempatan bagi calon mahasiswa “kaya” dengan test masuk jalur berpembiayaan mandiri dan jalur kemitraan, tetapi untuk kuota jumlah mahasiswa yang diterima di jalur SNMPTN dan jalur untuk fakir tetap dipertahankan. Memang untuk jalur SNMPTN dikurangi, tetapi jalur untuk mahasiswa miskin dibuka sangat lebar, dengan beberapa jalur beasiswa.

Memang, dalam kemelut perubahan, sikap kepedulian saja tidak cukup. Perlu sikap keberpihakan. Pada spirit yang sama, Penulis yang mendapat amanah untuk membantu PB Al Khairiyah mengembangkan pendidikan tinggi di lingkungan Al Khairiyah berusaha agar semua pihak juga memiliki keberpihakan yang sama. Ada beberapa alasan kuat mengapa keberpihakan pada Al Khairiyah harus dibuka. Pertama, Al Khairiyah adalah organisasi nir laba, tidak mencari keuntungan. Kedua, Al Khairiyah adalah milik ummat Islam, mayoritas ummat di Cilegon dan Banten. Ketiga, Al Khairiyah adalah ikon penggerak perang kemerdekaan di kawasan Banten. Keempat, pada saat ini posisi Al Khairiyah relatif sangat marginal, padahal ditengah-tengah tantangan perubahan masyarakat yang sangat cepat dan dinamis di Cilegon dan Banten ini diperlukan oase tempat acuan dan aduan apabila permasalahan kemasyarakatan muncul.

Oleh karena itu, dalam konteks diatas, keberanian ITS untuk bekerjasama dengan STIKOM Al Khairiyah – salah satu sayap amal sosial PB Al Khairiyah – patut mendapatkan acungan jempol. Sebagai penjabat Pembantu Dekan IV Fakultas Teknologi Informasi ITS, Bapak Khakim Ghozali tahu persis, bagaimana keterbatasan STIKOM Al Khairiyah. Fasilitas sangat minim dan berbagai keterbatasan menyelimuti perguruan tinggi ini, apalagi bila dibandingkan dengan ITS Surabaya. Keberanian ini harus dimaknai sebagai keberpihakan ITS, keberpihakan Pak Khakim Ghozali, atas kemajuan Cilegon, kemajuan Al Khairiyah.

Semoga STIKOM Al-Khairiyah kelak seperti Universitas Bangkalan. Sebuah universitas swasta di Madura, yang telah dinegerikan bersamaan dengan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Sebuah cerita sukses dari Pak Khakim Ghozali ketika harus membantu perguruan tinggi tersebut, 20 tahun yang lalu. Suatu kondisi fisik yang persis seperti STIKOM Al Khairiyah saat ini.

Tanpa sikap keberpihakan, masyarakat miskin yang tak mampu kuliah di luar kota, tetap saja buta dan fakir. Mari kita bangun bersama-sama.

(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah)

Selasa, 11 Mei 2010

Demokrasi Tokek

Oleh: Sudarmono Moedjari

Saat Nurcholish Madjid (Himpunan Mahasiswa Islam – HMI), bersama Usep Fathuddin (Pelajar Islam Indonesia - PII), dan Utomo Dananjaya (Gerakan Pemuda Islam - GPI) melemparkan gagasan tentang ketidakperluan suatu partai diatribusi dengan pandangan agama tertentu (Islam Yes, Partai Islam No), 3 Januari 1970, 40 tahun yang lalu. Ummat Islam yang aktif di dunia politik kecewa berat. Nurcholish yang diimpikan, diharapkan dan di”gadhang-gadhang” sebagai pengganti Natsir – tokoh utama Partai Masyumi, ternyata keluar kotak pandora, melontarkan gagasan yang sangat liberal, keluar dari pakem umum yang dipegang saat itu, suatu adagium bahwa untuk menciptakan masyarakat yang “Islami” harus diperjuangkan lewat partai politik. Dan partai itu harus dengan jantan memiliki jati diri sebagai partai Islam, agar kesatuan cita, kesatuan misi, kesatuan gerak langkah, dapat selalu diarahkan pada satu tujuan yang padu.

Pertaruhan Nurcholish dengan lontaran gagasan lintas jalur, jelas tidak datang tiba-tiba. Dihadapan lintasan sejarah saat itu, dia melihat gerakan Ummat Islam telah beku, antar pimpinan tak ada saling kesepahaman, konflikpun setiap saat menganga siap menerkam masing-masing pihak, perolehan suarapun tak hendak menanjak. Sementara kaum muda yang masih belum terkontaminasi dunia politik, sangat antusias mengikuti kajian-kajian Keislaman di kampus-kampus, tanpa hirau atas hiruk pikuk kaum tua yang berebut kursi. Ada jeda yang jauh antara kaum tua dan kaum muda. Ada kekecewaan kiprah para senior di panggung politik. Oleh karena itu perlu perubahan cara pandang yang serius, agar lintasan sejarah berpihak kepada cita-cita awal pembentukan sebuah partai Islam. Diciptakanlah adagium baru ”Islam Yes, Partai Islam No”.

Empat puluh tahun berlalu. Demokrasi yang diterapkan di negeri ini telah semakin “murni”, tanpa embel-embel atribut, seperti Demokrasi Terpimpin saat orde lama, maupun Demokrasi Pancasila saat orde baru. Mayoritas suara telah menyepakati bahwa embel-embel istilah pada demokrasi hanya akan membelokkan praktek demokrasi yang benar. Hasilnya adalah hak rakyat untuk bersuara dan berpendapat benar-benar diakui dan dibuka selebar-lebarnya. DPR kita pilih langsung, bahkan tidak sebatas nama partainya, tetapi sampai ke nama orangnya. DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten setali tiga uang. Presiden sudah bukan raja lagi, kalau kita tidak senang, kita bisa ganti pada periode berikutnya. Gubernur, Bupati, Walikota bisa kita pilih sesuka hati kita. Istilah Pileg, Pilpres, Pilkadal, Pilkada, Pilbup, dan beragam variasinya sangat akrab di telinga kita.

Tetapi, pertanyaan selanjutnya, apakah semua pendekatan tersebut bermanfaat? Apakah cita-cita dasar pembentukan negara ini sudah tercapai? Apakah rakyat sudah sejahtera? Apakah rakyat sudah merasa diperlakukan dengan adil? Kok, nampaknya kalau di skoring, nilainya tidak sampai 7, bahkan bila harus mengacu ke angka standar minimal kelulusan Ujian Nasional sebesar 5,5, nilai tersebut sudah harus dikatrol lebih dahulu. Mang Udin, kenalan penulis sejak 15 tahun lalu sampai sekarang juga masih tetap berprofesi menjadi tukang becak. Rekannya tukang becak bahkan sekarang harus sudah mulai melakukan perkaderan bagi anaknya, tetap sebagai tukang becak! Biaya untuk “mempromosikan” anaknya menjadi tukang ojeg-pun nampaknya juga tidak terjangkau.

Bagaimana dengan perspektif keadilan? Tanyakan pada pada Gayus, berapa tingkat kenaikan gaji bersih yang dibawa pulang sejak 5 tahun terakhir? Bandingkan dengan tarif Mang Udin untuk menarik becak tahun ini dibandingkan 5 tahun lalu. Saya jamin peningkatannya tidak akan sebanding. Apalagi profesi tukang becak adalah profesi “pasar bebas”, tanpa “entry barrier”, tanpa proteksi tarif. Siapapun konsumennya boleh menawar tarif becak, bila terlalu mahal, becak sebelah akan menerima dengan senang hati.

Dengan demikian apakah gejala tersebut dimaknai sebagai kegagalan konsep demokrasi? Biarlah pakar-pakar ilmu politik meneliti masalah tersebut. Yang pasti setiap konsep, sebagus apapun, memerlukan prasyarat terhadap keberhasilan konsep tersebut. Perlu syarat keberlakukan atas keberhasilan gagasan demokrasi. Dan diantara syarat keberlakuan demokrasi yang cukup penting tetapi belum disentuh secara serius adalah jangkauan media informasi. Saat ini setiap pemilihan tiba –apapun pemilunya- kita para pemilih dihadapkan pada informasi yang sangat minim tentang siapa yang akan kita pilih. Kita hanya disajikan foto-foto narsis yang nongkrong dengan sangat norak di sepanjang jalan. Apa prestasi yang otentik dari sang calon, bagaimana integritas dan kredibilitasnya tak pernah kita tahu dengan baik. Kita hanya kenal nama-nama sang calon, ketika Sang Calon sudah memiliki syahwat kekuasaan untuk memimpin. Dan pasti semua informasi tersebut sudah sangat bias.

Oleh karena itu saatnya Banten Raya Post, dan media masa lokal lainnya masuk ke pelosok hati paling dalam pada masyarakat Banten. Tanpa itu, manfaat demokrasi yang telah menghabiskan pundi-pundi trilyunan rupiah, hanya menunggu tokek berhenti bertokek/berkokok, sambil menghitung-hitung dengan hati deg-degan: manfaat-mudhorot-manfaat-mudhorot-manfaat-mudhorot…….

(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah).

Baraya, 11 Mei 2010