Oleh: Sudarmono Moedjari
Sesaat setelah Rasulullah wafat. Di kalangan Ummat Islam sudah mulai terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Dimulai dari dikotomi kaum pendatang vs kaum “putra daerah”, berlanjut ke perbedaan pandangan antara kaum Ahlulbait (“darah biru”) vs non ahlul bait dalam penentuan kekhalifahan setelah Rasulullah. Meskipun pada periode pemilihan khalifah pertama, Abu Bakar telah terjadi kompromi politik. Tetapi masalah tidak selesai disana.
Pertumbuhan pemeluk ummat Islam yang luar biasa akibat “pembebasan” negeri-negeri baru semakin meningkatkan potensi konflik. Potensi konflik terjadi antara lain karena pemahaman keagamaan yang masih rendah, juga proses peng-“Islaman” mereka tidak selalu didasari atas kesadaran penuh akan keunggulan agama baru tersebut. Sebagai imperium baru yang sangat solid, mayoritas masyarakat akan merasa masygul kalau tidak mengikuti arah perubahan politik, dengan merubah agama lama ke agama baru.
Friksi-friksi diatas diperparah dengan ketidak tegasan Khalifah Utsman, dan intrik-intrik keluarga Khalifah dalam pemerintahan. Nepotisme ini menimbulkan fitnah di kalangan ummat berkembang semakin liar. Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab, Umar Ibnu Al Ash dengan keluraga Utsman, Abdullah ibnu Sa'd, mengakibatkan ketidak nyamanan. Kelompok yang tidak puas ini akhirnya membentuk pasukan pemberontakan dan mengirimkan ke Madinah. Madinahpun dikepung oleh kaum pemberontak. Ruang gerak Ustman diperkecil. Beliau dikepung dari segala penjuru.
Meskipun Khalifah dilindungi oleh sahabat-sahabatnya – termasuk anak Ali, tetapi pada akhirnya pemberontak berhasil membunuh Khalifah Ustman. Inilah yang disebut dengan Al Fitnatul Kubro yang pertama. Peristiwa ini telah melukai hati bagi banyak sahabat.
Ketika Utsman wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Meskipun berat, Ali harus tampil kedepan untuk mengisi kekosongan jabatan Khalifah. Dia harus menjadi penengah bagi kaum yang bersengketa. Tetapi pemahaman dan informasi tidak seimbang. Rumorpun berkembang semakin tidak terkendali. Keinginan untuk menenangkan masyarakat dan mencari keadilan yang seadil-adilnya telah ditanggapi keliru. Tuntutan agar menindak tegas kaum pemberontah harus berhadapan dengan pertimbangan bahwa jumlah pengikut pemberontak sangat banyak, dan berpotensi menimbulkan “back fire”.
Akhirnya kaum yang tidak puas atas kebijakan Khalifah Ali membentuk pasukan tandingan. Bersama Tholhah, Zubeir dan Aisyah mereka melakukan perlawanan. Tetapi kepiawaan Ali dalam berperang jauh diatas kemampuan gabungan pasukan ketiganya. Tholhah dan Zubeirpun gugur di medan laga. Bukan gugur saat melawan kaum musyrikin, tetapi melawan saudara-saudara seperjuangan waktu membebaskan kota Mekah.
Tentangan kedua datang dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman. Dia menuntut Ali agar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Beberapa waktu kemudian, ketika tuntutannya tidak dipenuhi dia malahan menuduh Ali turut serta dalam pembunuhan tersebut. Apalagi ketika salah seorang pemimpin pemberontakan, Ibnu Abi Bakr mendapatkan promosi menjadi Gubernur Mesir. Terjadilah perang Shiffin. Korbanpun berjatuhan. Tetapi lagi-lagi, Ali bin Abi Thalib yang merupakan pemimpin militer yang andal, dapat mendesak tentara Mu'awiyah. Kesadaran bahwa perang ini harus mengorbankan saudara seagama, memaksa Ali menawarkan pertandingan satu lawan satu. Antara Ali dan Mu’awiyah. Pemenangnya berhak atas tahta Khalifah.
Kepiawaian Ali atas ketangguhan dalam perkelahian satu lawan satu, membuat hati Mu’awiyah gentar. Maka Amr bin Ash’ menawarkan diri untuk menggantikan posisi Mu’awiyah sebagaim petarung melawan Ali. Pertarungan Ali dan Amr bin Ash’ pun terjadi. Pertarungan terjadi diatas kuda masing-masing. Tibalah saat klimaks, pedang Ali siap menebas kepala Amr. Tetapi dengan licik Amr menjatuhkan diri dari kudanya, dan berlutut minta ampun kepada Ali. Saat itu pula Ali memberikan ma’af pada Amr.
Sayang, momen tersebut tidak ditindak lanjutkan ke penyerahan diri, sehingga pertempuran antar pasukanpun dilanjutkan. Tetapi tetap, semakin lama pasukan Syam semakin terdesak. Tinggal selangkah lagi kemenangan Pasukan Khalifah akan memenangkan pertempuran. Pada saat inilah peranan kelicikan Amr muncul kembali. Dia sampaikan muslihat barunya ke hadapan Mu’awiyah. “Angkatlah Mushaf di atas ujung tombak dan ajaklah Ali bertahkim (berdamai dengan berpedoman) kepada Al Qur’an. Kalau mereka bersedia, tentulah mereka berselisih dan jika mereka menolak, pastilah akan berselisih pula….!” (1)
Siasat Amr membuahkan hasil, perselisihan diantara pasukan Ali mulai terjadi. Meskipun Ali tahu bahwa permintaan Amr hanya muslihat, tetapi karena desakan Asy’at, Ali menyetujui genjatan senjata, dan dimulailah babak baru perundingan antara pasukan Ali dan Mu’awiyah, ditengah kemasygulan Asytar yang tinggal selangkah lagi memukul habis pasukan Mu’awiyah.
Blunder Asy’at kembali terjadi, ketika dia mengusulkan nama Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi ketua juru runding pihak Ali. Asy’at menafikan usulan Amirul Mu’minin yang akan menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai juru runding. Akhirnya perundinganpun dimulai.
Ujung dari perundingan, kedua belah pihak sepakat agar kedua pemimpin mengundurkan diri dari jabatan mereka selaku khalifah masing-masing. Dan kemudian menyelenggarkan musyawarah Kaum Muslimin untuk memilih khalifah dan Imam mereka.
Prosesi deklarasi pemakzulan dimulai, Amr bin ‘Ash meminta agar Abu Musa al-Asy’ari memulai lebih dulu. Dan Abu Musa-pun menyampaikan pemakzulan Ali dan Mu’awiyah. Setelah itu tampilah Amr bin Ash menyampaikan pidatonya:
“Sesungguhnya Abu Musa, sebagaimana yang telah saudara-saudara saksikan telah memakzulkan pemimpinnya, Ali bin Abi Thalib, dan sayapun menyatakan hal yang sama. Selanjutnya menetapkan Mu’awiyah, hingga ialah yang menjadi khalifah dan Amirul Mukminin yang bertanggungjawab terhadap penuntutan darah Ustman bin Affan. Oleh karena itu bai’atlah tuan-tuan kepadanya…..”
Melihat penipuan secara terang-terangan, Abu Musa sangat marah. Dan perundinganpun berakhir dengan tanda tanya besar, akan dibawa kemana ummat setelah ini. Bila pada akhirnya terjadi Fitnatul al Kubro kedua, terbunuhnya Ali bin Abi Thalib oleh seorang anggota Khawarij. Dan bila skala sejarah mencatat bahwa inilah titik balik terjadinya skisme dalam Islam, terpecahnya ummat menjadi Syi’ah dan Sunni, harus diakui inilah fakta-fakta yang bisa kita baca sekarang.
***
Ilustrasi sejarah diatas sangat detail, bahkan kata perkata dapat terekam dengan sangat baik. Kemampuan Ummat Islam periode awal dalam tulis-menulis jelas menjadi kekuatan tersendiri. Juga daya hafal sangat luar biasa. Ribuan ayat Al Qur’an dan ratusan kutipan Al Hadits beserta matan dan sanadnya mampu dihafal dengan sangat baik.
Akan tetapi, konteks teknologi saat ini telah menjungkir balikkan tatanan mapan masyarakat lama. Dalam konteks ilustrasi diatas, arah sejarah Ummat akan menjadi lain, bila teknologi komunikasi secanggih abad ini. Televisi bisa siaran langsung. Seluruh berita dapat dilihat bagaikan kita menjadi reporter itu sendiri. Bila seluruh episode keculasan Amr dapat dilihat di layar kaca dan diterima di seluruh negeri, opini ummat bisa berbeda. Pihak-pihak pendukung Mu’awiyah akan terpojok oleh opini.
Andaikan kebijakan-kebijakan Utsman dapat disampaikan lewat media masa, bisa jadi ummat akan faham tentang mengapa Utsman mengambil keputusan tertentu sehingga terkesan nepotisme. Dalam banyak literatur Penulis membaca bahwa kebijakan Ustman sangat logis ketika menunjuk keluarganya menjadi pejabat negara.
***
Jadi, bahwa perkembangan komputer 30 tahun terakhir ini sangat pesat, tidak seorangpun mampu membantah. Betapa tidak, bila 30 tahun yang lalu komputer masih sebesar gajah masuk angin. Sekarang, komputer setebal buku notes sudah memiliki kemampuan yang luar biasa. Perkembangan tersebut tidak hanya pada satu komponen. Semua komponen telah berkembang sangat pesat, dari kemampuan maupun pengecilan ukuran komponen tersebut.
Prosesor 20 tahun lalu, baru tahapan “8086”, dengan kecepatan sekitar 1 Mega Hertz (1 MHz), sekarang kecepatan prosesor sudah melampui 30.000 kali lipat. Harddisk, 20 tahun lalu baru sekitar 10 Megabyte, sekarang ukurannya meningkat menjadi 200 GigaByte – atau meningkat lebih dari 20.000 kali lipat, inipun yang tersedia di pasaran umum, kapasitas harddisk untuk industri tentu jauh diatas itu.
Kemajuan itu juga telah “membunuh” teknologi-teknologi yang dikenal pada 20 tahun yang lalu. Diskette 8 inchi, yang selanjutnya mengecil menjadi sekitar 5 inchi, dan beradaptasi menjadi 3,5 inchi, saat ini sudah tidak mampu beradaptasi lagi, dan dengan rela hati untuk masuk museum. Saat ini media penyimpanan sudah beralih dengan “flash disk”. Saat ini, hanya dengan uang sekitar Rp 100.000,-, Anda sudah bisa membawa medium ini dengan kapasitas diatas 4 GigaByte, atau 4.000 Megabyte. Sebagai pembanding, harddisk 3,5 inchi hanya mampu menampung 1,3 Megabyte.
Sudah pasti, perubahan-perubahan tersebut telah merubah perilaku manusia sehari-hari. Untuk menyelesaikan PR - Pekerjaan Rumah siswa-siswi SMP, SMA, SMK, MA saat ini telah terbiasa dengan tugas yang harus dikumpulkan menggunakan “file”, atau “softcopy”. Bahkan sekarang sudah mulai dibiasakan dengan kewajiban siswa-siswi untuk mengirimkan jawaban dengan menggunakan email.
Di dunia lain, kalau kita mengikuti pengajian-pengajian di musholla, masjid, atau bahkan di sebagian besar pesantren kita, metode pembelajarannya tidak beranjak sejak dahulu kala. Kalau kita membaca sejarah, bagaimana KH Achmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, atau KH Syam’un menyampaikan pengajian, cara pembelajarannya masih persis sama dengan pengajian yang kita ikuti sekarang. Kalaupun berbeda, kalau dahulu kala cara menulis menggunakan papan tulis hitam (black board), dengan kapur warna putih. Sekarang para Ustadz, Guru Ngaji menggunakan papan tulis putih (white board), dan “spidol” (bisa hitam, atau berwarna). Penulis belum pernah melihat para Ustadz menggunakan teknologi modern untuk menjelaskan materi pengajaran. Kalaupun ada, hanya di televisi, atau pengajian yang “mahal-mahal”, peserta harus membayar perpaket dengan harga tertentu. Efek-efek komunikasi visual, dan multimedia sangat jarang kita dapatkan pada pengajian umum yang “gratis”.
Apakah pemakaian teknologi tidak diperlukan? Apakah tidak akan membantu meningkatkan pemahaman kita pada bidang kajian keagamaan? Atau apakah pemakaian teknologi dianggap sebagai katagori “bid’ah” yang menyesatkan? Tentu sangat menarik untuk didiskusikan.
(Penulis, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, Pembantu Ketua 1 - STIKOM Al Khairiyah, Manajer SBU Aplikasi Bisnis – PT. Krakatau Information Technology)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar