Lambat atau cepat kau - anak-anakku - akan masuk dunia yang penuh dengan label globalisasi. Kita -secara sendiri-sendiri- pasti tidak akan mampu untuk membendung arus tersebut.
Wajar kita, dan saya sebagai orang tua "gamang" terhadap persiapanmu terhadap tantangan yang kau hadapi kelak.
Karena membendung sesuatu adalah hal yang mustahil, maka harus ada langkah-langkah antisipatif untuk "membentengi" dan "memperkuat" diri agar kau mampu tegak berdiri diatas budaya global tersebut.
Membentengi
Sekali lagi Membentengi! Harus kau lakukan karena tidak semua arus globalisasi sesuai dengan aqidah dan prinsip-prinsip hidup kita.
Isu-isu HAM, persamaan gender, penghapusan hukuman mati, liberalisasi, keterbukaan dan demokrasi (pada batas-batas tertentu), dll. tidak semua segaris dengan keimanan kita.
Siapa yang memberi hak pada kita, sehingga kita berani bilang dan menuntut Hak Azazi Manusia?
Apa harus peran wanita disamakan dengan pria, hanya gara-gara kedua insan memiliki kesetaraan dalam hidup? Mengapa kita menuntut sama?
Apa hak kita menolak hukuman mati yang menurut aqidah kita dibuka secara adil?
Apakah keterbukaan berarti mengobok-obok ruangan kamar tidur kita?
Apakah demokrasi menjadi mantra suci menuju kebahagiaan?
dll.
Memperkuat
Globalisasi menuntut "kompetisi" antar bangsa secara bebas, tanpa batas. Hanya mereka yang kuat yang bakal menang. Mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri dalam pertarungan tersebut. Produktifitas, efisiensi, spirit, komunikasi, koordinasi (baca: jamaah) harus menjadi tradisi baru kita.
Produktifitas bagsa kita sangat rendah. Kita terbiasa "malas", dan banyak profesi dengan nilai tambah yang rendah.
Malas, untuk mengerjakan sesuatu yang harusnya bisa kita selesaikan sendiri, kita selalu mengandalkan orang lain. Bikin SIM membeli jadi (tidak mau ngurus sendiri), cuci piring oleh pembantu, jalan 200 meter saja harus mbecak atau ojek, dll.
Banyak profesi-profesi baru yang "mengganggu" produktifitas seperti: tukang parkir, pak "ogah", tukang becak, dll. Tukang parkir itu profesi yang tidak perlu. Kita saja yang kadang malas melihat spion, hingga perlu tukang parkir. Saya tidak anti tukang parkir, pak "ogah", dll, tetapi peran baru, profesi baru yang tidak searah dengan arus produktifitas, tanpa ada langkah antisipasi oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas adalah kezaliman dimasa mendatang.
Efisiensi.
Untuk mengambil suatu keputusan, kita seringkali mbelibet. Bikin visi, bikin misi, rapat kerja, bikin komisi ini, bikin team itu, rapat koordinasi ini, sidang komisi itu, sidang paripurna, etc. etc...waktu habis, kembali bikin visi baru, misi baru, dsl. dsl......waktu habis lagi, rapat lagi.......
Spirit.
Saat membaca episode pendudukan Iwojima dan Okinawa dalam Perang Pasifik, wah saya tidak bisa membayangkan.... kita bisa nggak meniru spirit juang yang demikian hebat dari bangsa Jepang? Dalam kondisi hampir kalah, bangsa Jepang masih menunjukkan spirit pantang menyerah. Dia bikin bunker-bunker bawah tanah, dan dia membuat perlawanan habis-habisan dari sana, sampai mati.... Kita juga barangkali pernah membaca kisah pembebasan Benteng Khaibar jaman Rasulullah, bagaimana Ali yang kelilipan harus memegang pedang komando untuk mendobrak benteng terkuat Bangsa Yahudi. Kita....... digertak sedikit sama AS saja sudah keder.......
Komunikasi
Kita harus berhadapan sama tinggi dengan Bangsa lain. Bahasa komunikasi harus dikuasai. Bahasa Inggris, Bahasa komputer (internet, blog, dsb), bahasa gaul, bahasa musik, bahasa matematika, bahasa peradaban,dll. Sengaja makna bahasa saya perlebar, karena kondisinya memang sudah global. Seorang asatidz yang dikirim ke AS karena jago bahasa Inggrispun sempat kagol ketika harus berkomunikasi via komputer.
Jama'ah
Kambing yang mencari rumput sendiri pasti dengan gampang dimakan serigala. Kolaborasi menjadi kata kunci baru, untuk memperebutkan kompetensi keummatan.
(Sudarmono.Moedjari, April 2007)
Kamis, 22 Mei 2008
Mirza Ghulam Ahmad
"Kamu juru ingat dari sisi-Ku. Aku mengutusmu agar memisahkan orang yang berdosa dengan orang yang berbuat baik." Tidak seperti ummat Islam mayoritas (yang menganggap Surat Al-Maidah ayat 3 sebagai wahyu pamungkas) Ghulam Ahmad memaklumkan bahwa dirinya telah menerima wahyu ke”nabi”an tersebut, sebagai kelanjutan tugas yang dibawa Nabi Muhammad.
Posisi lebih konkret tentang posisi Sang Imam dengan Nabi Muhammad disampaikannya sebagai berikut “Tidak perlu orang mengikuti semua Nabi dan semua Kitab terdahulu secara terpisah-pisah. Karena kenabian Muhammad saw. telah mencakup semuanya. Semua jalan tertutup kecuali hanya itu. Segala kebenaran yang bisa mengantarkan manusia mencapai Allah ada di dalamnya (di dalam Al-Quran). Tidak akan datang kebenaran baru sesudahnya dan tidak ada kebenaran sebelumnya yang tidak terkandung di dalam Al-Qur'an. Oleh karenanya, pada Nabi (Muhammad saw.) ini semua kenabian berakhir. Memang demikianlah hendaknya. Karena bagi sesuatu yang ada awalnya, tentu ada pula akhirnya. Tetapi pancaran berkah Nabi Muhammad saw. ini tidak berkurang. Bahkan di antara semua Nabi, berkah yang paling banyak ada padanya. Dengan mengikuti Nabi (Muhammad saw.) ini orang dapat mencapai Tuhan dengan cara yang sangat mudah.”
“Dengan mengikuti beliau, orang dapat memperoleh pahala yang lebih besar daripada yang diperoleh orang sebelumnya, yaitu kecintaan Allah Ta'ala dan dapat 'mukalamah mukhathabah,' (berwawan sabda dengan Allah). Tetapi pengikut beliau yang sempurna (kamil) tidak dapat hanya disebut Nabi. Karena ini berarti penghinaan pada Nabi sempurna Muhammad saw. Ya, dapat dibenarkan bila lafadh Ummati dan Nabi keduanya dalam perpaduan. Karena di sini tidak ada kesan peremehan terhadap Nabi sempurna Muhammad saw. Bahkan dengan berkah ini justru lebih memperjelas pancaran cahaya kenabian beliau “
Tatkala 'mukalamah mukhathabah' dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya telah mencapai puncak kesempurnaannya, di dalamnya tidak ada noda dan kekurangan dan secara jelas mengandung perkara-perkara ghaibiyah, itu dengan kata lain disebut kenabian, para Nabi sepakat atas itu. Singkatnya, mustahil umat yang dikatakan sebagai: “Kamu adalah sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk manusia” (QS Al Baqoroh 109) dan yang untuknya diajarkan doa ”Pimpinlah kami pada jalan yang benar. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan” (QS Al Fatihah ayat 5-6) seluruhnya terhalang dari kedudukan yang tinggi ini, dan tak ada seorang pun yang dapat mencapai kedudukan ini. Jika demikian keadaannya, keburukannya bukan hanya ummat Muhammad saw. bernoda, tidak sempurna dan semuanya seperti orang buta; melainkan juga merendahkan daya berkah Nabi Muhammad saw. dan menodai kekuatan suci beliau. Dengan demikian doa yang diajarkan agar dibaca dalam salat lima waktu pun sia-sia. Lebih dari itu, di sisi lain ada juga keburukan bahwa jika kesempurnaan ini dapat diperoleh seorang ummat secara langsung, tanpa mengikuti cahaya kenabian Muhammad saw. Maka makna qotamu-n nubuwwat (Penutup kenabian) menjadi batal.”
“Pendek kata untuk menyelamatkan dari kedua keburukan itu, Allah Ta'ala menganugerahkan 'mukalamah mukhathabah kamilah tammah muthaharah muqaddasiyah' (kesempatan dapat berwawansabda dengan Allah secara sempurna dan suci) kepada beberapa orang yang keadaan 'fana fi-r rosul' (lebur dalam Rasul)-nya telah mencapai puncak kesempurnaan, dan tidak ada tabir yang membatasinya. Dalam 'fanafi-r rosul' telah terkandung pengertian bahwa taraf keummatannya dan ketaatannya pada Rasul telah sempurna. Pada kondisi demikian,wujudnya bukan lagi sebagai wujudnya, melainkan pada cermin keleburannya merefleksikan wujud Nabi Muhammad saw. Disisi lain mereka mencapai 'mukalamah mukhathabah Ilahiyah' (dapat berwawansabda dengan Tuhan) secara sempurna seperti para Nabi.”
***
Pada bagian lainnya, Ghulam Ahmad menyampaikan kewajiban bai’at pada jama’ahnya: “Hendaknya sesepuh Jemaat yang mempunyai jiwa suci, mengambil bai'at atas namaku dari orang-orang sesudahku. Allah Ta'ala menghendaki, seluruh ruh yang ada dalam penduduk di berbagai belahan bumi, baik di Eropa maupun di Asia, semuanya yang memiliki fitrah baik, tertarik ke arah Tauhid dan semua hamba-Nya berhimpun dalam satu agama. Inilah maksud dan kehendak Allah Ta'ala, untuk itulah aku dikirim ke dunia ini. Maka ikutilah maksud ini! Tetapi hendaknya lebih mengutamakan dengan kehalusan, akhlak (luhur) dan doa-doa. Selama belum ada orang yang bangkit dengan menerima Ruhul Qudus, semuanya hendaknya bekerja bersama-sama sesudahku”
***
Inilah sekelumit ajaran Ahmadiyah, yang bagi kelaziman Ummat Islam dianggap sesat. Bila kita mundur kebelakang, kita akan belajar banyak tentang perjalanan agama-agama besar dunia. Dalam pelajaran sejarah tersebut, perpecahan selalu ditengarai berasal dari perbedaan pandangan politik. Protestan vs Katolik lahir dari perbedaan orientasi kekuasaan antara kekaisaran Roma dan Yunani.
Antara Syiah dan Sunni juga terkait dengan suksesi kehalifahan. Ali mengklaim menjadi pewaris tahta setelah menerima wasiat dari Nabi Muhammad sesaat menjelang Nabi wafat. Konon, Ahmadiyah lahir juga dari pengaruh Kerajaan Inggris yang ingin tetap berpengaruh di atas tanah jajahannya (India dan Pakistan).
Cukup menarik usulan Ketua Umum Muhammadiyah, mengapa tidak membikin agama baru saja? Barangkali usulan ini na’if, tetapi bisa saja menjadi alternatif utama, daripada harus mengangkat senjata diantara kita. Karena membelokkan suatu kepercayaan bagaikan menegakkan benang basah. (Sudarmono.Moedjari)
Posisi lebih konkret tentang posisi Sang Imam dengan Nabi Muhammad disampaikannya sebagai berikut “Tidak perlu orang mengikuti semua Nabi dan semua Kitab terdahulu secara terpisah-pisah. Karena kenabian Muhammad saw. telah mencakup semuanya. Semua jalan tertutup kecuali hanya itu. Segala kebenaran yang bisa mengantarkan manusia mencapai Allah ada di dalamnya (di dalam Al-Quran). Tidak akan datang kebenaran baru sesudahnya dan tidak ada kebenaran sebelumnya yang tidak terkandung di dalam Al-Qur'an. Oleh karenanya, pada Nabi (Muhammad saw.) ini semua kenabian berakhir. Memang demikianlah hendaknya. Karena bagi sesuatu yang ada awalnya, tentu ada pula akhirnya. Tetapi pancaran berkah Nabi Muhammad saw. ini tidak berkurang. Bahkan di antara semua Nabi, berkah yang paling banyak ada padanya. Dengan mengikuti Nabi (Muhammad saw.) ini orang dapat mencapai Tuhan dengan cara yang sangat mudah.”
“Dengan mengikuti beliau, orang dapat memperoleh pahala yang lebih besar daripada yang diperoleh orang sebelumnya, yaitu kecintaan Allah Ta'ala dan dapat 'mukalamah mukhathabah,' (berwawan sabda dengan Allah). Tetapi pengikut beliau yang sempurna (kamil) tidak dapat hanya disebut Nabi. Karena ini berarti penghinaan pada Nabi sempurna Muhammad saw. Ya, dapat dibenarkan bila lafadh Ummati dan Nabi keduanya dalam perpaduan. Karena di sini tidak ada kesan peremehan terhadap Nabi sempurna Muhammad saw. Bahkan dengan berkah ini justru lebih memperjelas pancaran cahaya kenabian beliau “
Tatkala 'mukalamah mukhathabah' dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya telah mencapai puncak kesempurnaannya, di dalamnya tidak ada noda dan kekurangan dan secara jelas mengandung perkara-perkara ghaibiyah, itu dengan kata lain disebut kenabian, para Nabi sepakat atas itu. Singkatnya, mustahil umat yang dikatakan sebagai: “Kamu adalah sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk manusia” (QS Al Baqoroh 109) dan yang untuknya diajarkan doa ”Pimpinlah kami pada jalan yang benar. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan” (QS Al Fatihah ayat 5-6) seluruhnya terhalang dari kedudukan yang tinggi ini, dan tak ada seorang pun yang dapat mencapai kedudukan ini. Jika demikian keadaannya, keburukannya bukan hanya ummat Muhammad saw. bernoda, tidak sempurna dan semuanya seperti orang buta; melainkan juga merendahkan daya berkah Nabi Muhammad saw. dan menodai kekuatan suci beliau. Dengan demikian doa yang diajarkan agar dibaca dalam salat lima waktu pun sia-sia. Lebih dari itu, di sisi lain ada juga keburukan bahwa jika kesempurnaan ini dapat diperoleh seorang ummat secara langsung, tanpa mengikuti cahaya kenabian Muhammad saw. Maka makna qotamu-n nubuwwat (Penutup kenabian) menjadi batal.”
“Pendek kata untuk menyelamatkan dari kedua keburukan itu, Allah Ta'ala menganugerahkan 'mukalamah mukhathabah kamilah tammah muthaharah muqaddasiyah' (kesempatan dapat berwawansabda dengan Allah secara sempurna dan suci) kepada beberapa orang yang keadaan 'fana fi-r rosul' (lebur dalam Rasul)-nya telah mencapai puncak kesempurnaan, dan tidak ada tabir yang membatasinya. Dalam 'fanafi-r rosul' telah terkandung pengertian bahwa taraf keummatannya dan ketaatannya pada Rasul telah sempurna. Pada kondisi demikian,wujudnya bukan lagi sebagai wujudnya, melainkan pada cermin keleburannya merefleksikan wujud Nabi Muhammad saw. Disisi lain mereka mencapai 'mukalamah mukhathabah Ilahiyah' (dapat berwawansabda dengan Tuhan) secara sempurna seperti para Nabi.”
***
Pada bagian lainnya, Ghulam Ahmad menyampaikan kewajiban bai’at pada jama’ahnya: “Hendaknya sesepuh Jemaat yang mempunyai jiwa suci, mengambil bai'at atas namaku dari orang-orang sesudahku. Allah Ta'ala menghendaki, seluruh ruh yang ada dalam penduduk di berbagai belahan bumi, baik di Eropa maupun di Asia, semuanya yang memiliki fitrah baik, tertarik ke arah Tauhid dan semua hamba-Nya berhimpun dalam satu agama. Inilah maksud dan kehendak Allah Ta'ala, untuk itulah aku dikirim ke dunia ini. Maka ikutilah maksud ini! Tetapi hendaknya lebih mengutamakan dengan kehalusan, akhlak (luhur) dan doa-doa. Selama belum ada orang yang bangkit dengan menerima Ruhul Qudus, semuanya hendaknya bekerja bersama-sama sesudahku”
***
Inilah sekelumit ajaran Ahmadiyah, yang bagi kelaziman Ummat Islam dianggap sesat. Bila kita mundur kebelakang, kita akan belajar banyak tentang perjalanan agama-agama besar dunia. Dalam pelajaran sejarah tersebut, perpecahan selalu ditengarai berasal dari perbedaan pandangan politik. Protestan vs Katolik lahir dari perbedaan orientasi kekuasaan antara kekaisaran Roma dan Yunani.
Antara Syiah dan Sunni juga terkait dengan suksesi kehalifahan. Ali mengklaim menjadi pewaris tahta setelah menerima wasiat dari Nabi Muhammad sesaat menjelang Nabi wafat. Konon, Ahmadiyah lahir juga dari pengaruh Kerajaan Inggris yang ingin tetap berpengaruh di atas tanah jajahannya (India dan Pakistan).
Cukup menarik usulan Ketua Umum Muhammadiyah, mengapa tidak membikin agama baru saja? Barangkali usulan ini na’if, tetapi bisa saja menjadi alternatif utama, daripada harus mengangkat senjata diantara kita. Karena membelokkan suatu kepercayaan bagaikan menegakkan benang basah. (Sudarmono.Moedjari)
Jalan Tak Selamanya Lurus
Bagi pelajar maupun orang tua pelajar yang akan masuk ke SLTP, SLTA maupun perguruan tinggi, pekan-pekan ini menjadi pekan-pekan yang sangat penting. Diterima dimanakah? Berapa biaya yang harus dibayarkan? Mampukah saya (anak saya) melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Selain biayanya relatif lebih sedikit, sekolah-sekolah negeri rata-rata diminati banyak pelajar. Selain itu, beberapa sekolah favorit –bisa negeri, bisa swasta- menjadi idaman setiap orang, meskipun harus dibayar dengan mahal. Bagi siswa yang pindah jenjang ke pendidikan SLTP pilihan hanya pada SMP mana yang paling unggul diantara SMP-SMP lain.
Untuk yang melanjutkan ke jenjang SLTA, pilihan mulai beragam. Kita mulai harus berhitung, apakah kita menjadi praktisi usai lulus SLTA, atau masih punya mimpi dan kemampuan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan memilih SMA. Sekolah kejuruanpun juga beragam. Ada yang berbasis ekonomi, teknik mekanika, elektronika, kimia dan sebagainya.
Ragam pilihan semakin beragam bagi kita yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Ada Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dengan beragam jurusan keahlian yang bisa diraih. Tinggal seberapa mampu kita menembus persaingan, atau seberapa besar kemampuan kita untuk membayar harga yang harus dibayar untuk meraih jalan menuju ke keberhasilan hidup.
Semangat boleh tinggi, cita-cita boleh dipasang setinggi bintang dilangit. Tetapi jalanan sejarah kehidupan harus dilalui dengan proses yang benar. Tidak selamanya jalan hidup berjalan dengan lurus, ada saja tikungan, tanjakan, jurang di kiri dan kanan yang harus dilalui. Cara meraih cita-cita tidak selamanya halal. Jangan sampai prinsip menghalalkan segala cara mulai dialirkan pada alur hidup ini. Sekali kita mencoba meng-intervensi alur hidup ini dengan cara-cara yang tidak halal, catatan hitam pada sejarah hidup kita mulai tertoreh. Dan catatan tersebut tidak akan bisa hilang sampai kita melakukan pertaubatan.
Pendidikan haruslah menjadi satu dalam iklim pembelajaran hidup. Pada sisi lain pendidikan bukanlah satu-satunya media dalam belajar dan meraih kesuksesan hidup. Banyak pintu mencapai kepandaian, banyak jalan untuk mencapai keberhasilan hidup dan pencapaian derajat kemanusiaan. Proses meraih bintang tak boleh dikotori dengan langkah-langkah culas, tidak memikirkan kesempatan orang lain yang lebih berhak, memanfaatkan “kekuatan” Bapak/Ibu/Kakek/Nenek/Oom diluar batas yang semestinya.
Bukankah kalau kita baca biografi Bapak Sugiharto, Menteri P-BUMN kita sekarang, lulus SMA pun harus diraih dengan susah payah dengan menjadi calo tiket film bioskop. Pendidikan tinggi yang Beliau laluipun juga tidak tergolong perguruan tinggi papan atas semacam UI, IPB, ITB, Unpad, UGM, ITS. Belaiu hanya lulusan Universitas Jayabaya, dan inipun dilalui ketika Beliau sudah mendapatkan gaji sendiri.
Ingatkah kita pada kedua proklamator kita? Baik Bung Karno dan Bung Hatta, mereka bukanlah sarjana ilmu politik, ilmu pemerintahan ataupun ilmu hukum! Secara teoritis, mereka yang memiliki ilmu inilah seharusnya memproklamasikan Republik Indonesia.
Sebaliknya, lihatlah karya arsitektur Bung Karno (sebagai arsitek komando) dalam Masjid Isiqlal! Kecuali ukurannya, apa yang luar biasa dalam desain masjid ini? Suram bila tanpa lampu, sejauh mata memandang didalam masjid hanya terlihat tiang kubah yang dominan. Pendeknya sebagai arsitek tidak banyak karya agung yang dihasilkan dari Bung Karno. Tetapi seluruh dunia mengakui, Beliaulah yang membangun “jembatan emas” kemerdekaan Republik Indonesia.
Jadi bila kita belum berhasil pada etape-etape dalam memilih jalan pendidikan. Jangan berkecil hati, kehidupan ini masih tetap berlangsung. Keberhasilan tidak ditentukan dari kita alumni mana. Tetapi lebih ditentukan bagaimana kita mensikapi hidup ini. Kerja keras, kejujuran dan nilai-nilai hidup yang unggul lainnya adalah segalanya.
Selain biayanya relatif lebih sedikit, sekolah-sekolah negeri rata-rata diminati banyak pelajar. Selain itu, beberapa sekolah favorit –bisa negeri, bisa swasta- menjadi idaman setiap orang, meskipun harus dibayar dengan mahal. Bagi siswa yang pindah jenjang ke pendidikan SLTP pilihan hanya pada SMP mana yang paling unggul diantara SMP-SMP lain.
Untuk yang melanjutkan ke jenjang SLTA, pilihan mulai beragam. Kita mulai harus berhitung, apakah kita menjadi praktisi usai lulus SLTA, atau masih punya mimpi dan kemampuan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan memilih SMA. Sekolah kejuruanpun juga beragam. Ada yang berbasis ekonomi, teknik mekanika, elektronika, kimia dan sebagainya.
Ragam pilihan semakin beragam bagi kita yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Ada Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dengan beragam jurusan keahlian yang bisa diraih. Tinggal seberapa mampu kita menembus persaingan, atau seberapa besar kemampuan kita untuk membayar harga yang harus dibayar untuk meraih jalan menuju ke keberhasilan hidup.
Semangat boleh tinggi, cita-cita boleh dipasang setinggi bintang dilangit. Tetapi jalanan sejarah kehidupan harus dilalui dengan proses yang benar. Tidak selamanya jalan hidup berjalan dengan lurus, ada saja tikungan, tanjakan, jurang di kiri dan kanan yang harus dilalui. Cara meraih cita-cita tidak selamanya halal. Jangan sampai prinsip menghalalkan segala cara mulai dialirkan pada alur hidup ini. Sekali kita mencoba meng-intervensi alur hidup ini dengan cara-cara yang tidak halal, catatan hitam pada sejarah hidup kita mulai tertoreh. Dan catatan tersebut tidak akan bisa hilang sampai kita melakukan pertaubatan.
Pendidikan haruslah menjadi satu dalam iklim pembelajaran hidup. Pada sisi lain pendidikan bukanlah satu-satunya media dalam belajar dan meraih kesuksesan hidup. Banyak pintu mencapai kepandaian, banyak jalan untuk mencapai keberhasilan hidup dan pencapaian derajat kemanusiaan. Proses meraih bintang tak boleh dikotori dengan langkah-langkah culas, tidak memikirkan kesempatan orang lain yang lebih berhak, memanfaatkan “kekuatan” Bapak/Ibu/Kakek/Nenek/Oom diluar batas yang semestinya.
Bukankah kalau kita baca biografi Bapak Sugiharto, Menteri P-BUMN kita sekarang, lulus SMA pun harus diraih dengan susah payah dengan menjadi calo tiket film bioskop. Pendidikan tinggi yang Beliau laluipun juga tidak tergolong perguruan tinggi papan atas semacam UI, IPB, ITB, Unpad, UGM, ITS. Belaiu hanya lulusan Universitas Jayabaya, dan inipun dilalui ketika Beliau sudah mendapatkan gaji sendiri.
Ingatkah kita pada kedua proklamator kita? Baik Bung Karno dan Bung Hatta, mereka bukanlah sarjana ilmu politik, ilmu pemerintahan ataupun ilmu hukum! Secara teoritis, mereka yang memiliki ilmu inilah seharusnya memproklamasikan Republik Indonesia.
Sebaliknya, lihatlah karya arsitektur Bung Karno (sebagai arsitek komando) dalam Masjid Isiqlal! Kecuali ukurannya, apa yang luar biasa dalam desain masjid ini? Suram bila tanpa lampu, sejauh mata memandang didalam masjid hanya terlihat tiang kubah yang dominan. Pendeknya sebagai arsitek tidak banyak karya agung yang dihasilkan dari Bung Karno. Tetapi seluruh dunia mengakui, Beliaulah yang membangun “jembatan emas” kemerdekaan Republik Indonesia.
Jadi bila kita belum berhasil pada etape-etape dalam memilih jalan pendidikan. Jangan berkecil hati, kehidupan ini masih tetap berlangsung. Keberhasilan tidak ditentukan dari kita alumni mana. Tetapi lebih ditentukan bagaimana kita mensikapi hidup ini. Kerja keras, kejujuran dan nilai-nilai hidup yang unggul lainnya adalah segalanya.
Berjuang Melawan Lupa
Masih ingatkah kita pada gempa bumi di Bom, Iran, tepat 26 Desember 2003 yang lalu? Kota yang telah dihuni oleh manusia berperadaban tinggi sejak ribuan tahun yang lalu. Kota tempat bertaburannya artefak bangunan arkeologis yang tak ternilai harganya. Hanya dalam hitungan detik, kerja keras manusia pensejarah yang ditoreh selama ribuan tahun tersebut luluh lantak dihantam gempa bumi dengan kekuatan sangat dahsyat. Kita telah lupa?
Masih ingatkah kita, ketika tepat ulang tahun gempa bumi di Bom Iran, juga tepat setahun yang lalu, mulai siang hari kita mendapatkan kabar yang simpang siur tentang kejadian gempa bumi di Propinsi Nanggroe Acheh Darussalam? Kabar yang semakin lama semakin jelas, tetapi sekaligus semakin lama semakin mencekam dada kita, dada saudara-saudara kita, dada seluruh masyarakat Indonesia, dan selanjutnya merembet menjadi keprihatinan seluruh masyarakat dunia.
Gempa bumi berkekuatan diatas 9 skala richter, terletak tidak jauh dari pantai barat propinsi NAD. Lokasi gempa di lepas pantai telah mengakibatkan gelombang tsunami yang menggulung-nggulung, menerjang sepanjang pantai Samudra Hindia! Hari demi hari perhatian kolektif kita disuguhkan pada angka-angka korban yang selalu bertambah tak terbendung, mayat-mayat bergelimpangan tak mampu terurus, orang tua yang berjalan mondar-mandir tak tentu arah tujuan, anak-anak yang tinggal sebatang kara, rekaman ulang hasil shooting video amatir yang sempat merekam kedahsyatan tsunami, keajaiban beberapa rumah ibadah yang selamat dari amukan, dan berbagai berita seputar bencana tersebut. Pendeknya sebulan, dua bulan lebih seluruh perhatian kita tercurah pada peristiwa tersebut.
Semakin hari kita semakin sadar bahwa bencana itu demikian dahsyat. Angka korban hingga diatas 200 ribu orang adalah setara dengan seluruh jumlah penduduk pada kota-kota skala sedang. Sepanjang catatan sejarah dunia, korban bencana alam sebanyak itu hanya dapat dihitung dengan sebelah jari! Kita semakin sadar bahwa keberadaan kita hanya karena kemurahan Sang Kuasa. Bagi Sang Kuasa, tidak susah untuk menjungkir balikkan tatanan peta dunia, segampang Sang Kuasa menciptakanNya.
Kita menjadi bangsa yang satu, berjuang bersama mengatasi derita pilu saudara-saudara kita di ujung negeri dengan penuh keikhlasan. Kita semua melupakan perbedaan suku, ras, kepentingan politik, perbedaan kekayaan, pandangan ideologi, perbedaan kewarganegaraan untuk bersama-sama menolong sahabat-sahabat kita yang terkena musibah.
***
Hari ini genap setahun kita memperingati musibah tersebut. Meskipun baru berlangsung satu tahun, nampaknya bencana itu bagaikan terjadi 10 abad silam. Pundi-pundi amal untuk bencana Aceh telah lama tutup, spanduk-spanduk posko sudah banyak yang lusuh –entah posko tersebut masih aktif, entah sudah tutup. Perhatian kita akan musibah itu sudah hampir tiada. Kembali kita dihadapi masalah-masalah baru yang tidak henti-hentinya menimpa bangsa kita. Hanya beberapa media masa yang memberitakan perkembangan rekonstruksi disana, dan itupun sudah tidak menjadi perhatian kita semua. Juga beritanyapun bukan berita prestasi, lebih banyak berita penyimpangan pengelolaan pasca bencana. Lebih parah lagi, telah banyak pelajaran-pelajaran mahal yang kita petik pada hari-hari pertama hilang tak bebekas. Kita kembali lupa pada tujuan hidup kita. Kita lupa kedahsyatan murka Allah. Kita lupa bahwa saudara-saudara kita masih belum sepenuhnya keluar dari masalah. Tenda-tenda darurat masih mengembang disana sini, jalan-jalan masih banyak yang belum tersambung, runtuhan bangunan masih berserakan. Kekecewaan atas penanganan rekonstruksi kembali menggema. Perasaan berkebangsaan Indonesia bagi masyarakat Aceh, pada beberapa liputan mulai mengendur kembali.
Sebagian dari kita telah memanfaatkan rekonstruksi tsunami menjadi pundi-pundi pengumpulan kekayaan yang tiada berbelas kasihan. Berapa puluh mobil mewah dan mobil sangat-sangat mewah - semacam limousine yang hanya lazim dimiliki oleh Bapak Presiden - masuk negeri ini lewat pintu berdalih rekonstruksi. Mobil mewah dengan berbagai macam fasilitas keringanan dan dispensasi bea masuk, ijin masuk, dan berbagai fasilitas keringanan lainnya. Berapa banyak LSM jadi-jadian yang mencari proyek disana? Berbagai lembaga resmi yang menggaji pejabatnya dengan standar nilai sangat tinggi. Berbagai perumahan semi permanen dibangun hanya berdasarkan order proyek, tanpa mempertimbangkan efektifitas, sehingga banyak rumah-rumah yang dibangun tidak layak huni, tidak diminati kaum pengungsi karena lokasi yang jauh dari tempat pencarian nafkah. Berapa banyak proyek-proyek yang “out of specification” baik dari ukuran maupun kualitas bangunan?
Kita sebagai makhluk Allah hanya memiliki 2 pilihan, selalu teringat pada tujuan hidup kita, sehingga kita selalu hidup pada pedoman kitab suci, dan selalu berjuang untuk melawan lupa atau Allah mengingatkan kita dengan bencana baru, yang barangkali lebih dahsyat dari Tsunami di Acheh.
Masih ingatkah kita, ketika tepat ulang tahun gempa bumi di Bom Iran, juga tepat setahun yang lalu, mulai siang hari kita mendapatkan kabar yang simpang siur tentang kejadian gempa bumi di Propinsi Nanggroe Acheh Darussalam? Kabar yang semakin lama semakin jelas, tetapi sekaligus semakin lama semakin mencekam dada kita, dada saudara-saudara kita, dada seluruh masyarakat Indonesia, dan selanjutnya merembet menjadi keprihatinan seluruh masyarakat dunia.
Gempa bumi berkekuatan diatas 9 skala richter, terletak tidak jauh dari pantai barat propinsi NAD. Lokasi gempa di lepas pantai telah mengakibatkan gelombang tsunami yang menggulung-nggulung, menerjang sepanjang pantai Samudra Hindia! Hari demi hari perhatian kolektif kita disuguhkan pada angka-angka korban yang selalu bertambah tak terbendung, mayat-mayat bergelimpangan tak mampu terurus, orang tua yang berjalan mondar-mandir tak tentu arah tujuan, anak-anak yang tinggal sebatang kara, rekaman ulang hasil shooting video amatir yang sempat merekam kedahsyatan tsunami, keajaiban beberapa rumah ibadah yang selamat dari amukan, dan berbagai berita seputar bencana tersebut. Pendeknya sebulan, dua bulan lebih seluruh perhatian kita tercurah pada peristiwa tersebut.
Semakin hari kita semakin sadar bahwa bencana itu demikian dahsyat. Angka korban hingga diatas 200 ribu orang adalah setara dengan seluruh jumlah penduduk pada kota-kota skala sedang. Sepanjang catatan sejarah dunia, korban bencana alam sebanyak itu hanya dapat dihitung dengan sebelah jari! Kita semakin sadar bahwa keberadaan kita hanya karena kemurahan Sang Kuasa. Bagi Sang Kuasa, tidak susah untuk menjungkir balikkan tatanan peta dunia, segampang Sang Kuasa menciptakanNya.
Kita menjadi bangsa yang satu, berjuang bersama mengatasi derita pilu saudara-saudara kita di ujung negeri dengan penuh keikhlasan. Kita semua melupakan perbedaan suku, ras, kepentingan politik, perbedaan kekayaan, pandangan ideologi, perbedaan kewarganegaraan untuk bersama-sama menolong sahabat-sahabat kita yang terkena musibah.
***
Hari ini genap setahun kita memperingati musibah tersebut. Meskipun baru berlangsung satu tahun, nampaknya bencana itu bagaikan terjadi 10 abad silam. Pundi-pundi amal untuk bencana Aceh telah lama tutup, spanduk-spanduk posko sudah banyak yang lusuh –entah posko tersebut masih aktif, entah sudah tutup. Perhatian kita akan musibah itu sudah hampir tiada. Kembali kita dihadapi masalah-masalah baru yang tidak henti-hentinya menimpa bangsa kita. Hanya beberapa media masa yang memberitakan perkembangan rekonstruksi disana, dan itupun sudah tidak menjadi perhatian kita semua. Juga beritanyapun bukan berita prestasi, lebih banyak berita penyimpangan pengelolaan pasca bencana. Lebih parah lagi, telah banyak pelajaran-pelajaran mahal yang kita petik pada hari-hari pertama hilang tak bebekas. Kita kembali lupa pada tujuan hidup kita. Kita lupa kedahsyatan murka Allah. Kita lupa bahwa saudara-saudara kita masih belum sepenuhnya keluar dari masalah. Tenda-tenda darurat masih mengembang disana sini, jalan-jalan masih banyak yang belum tersambung, runtuhan bangunan masih berserakan. Kekecewaan atas penanganan rekonstruksi kembali menggema. Perasaan berkebangsaan Indonesia bagi masyarakat Aceh, pada beberapa liputan mulai mengendur kembali.
Sebagian dari kita telah memanfaatkan rekonstruksi tsunami menjadi pundi-pundi pengumpulan kekayaan yang tiada berbelas kasihan. Berapa puluh mobil mewah dan mobil sangat-sangat mewah - semacam limousine yang hanya lazim dimiliki oleh Bapak Presiden - masuk negeri ini lewat pintu berdalih rekonstruksi. Mobil mewah dengan berbagai macam fasilitas keringanan dan dispensasi bea masuk, ijin masuk, dan berbagai fasilitas keringanan lainnya. Berapa banyak LSM jadi-jadian yang mencari proyek disana? Berbagai lembaga resmi yang menggaji pejabatnya dengan standar nilai sangat tinggi. Berbagai perumahan semi permanen dibangun hanya berdasarkan order proyek, tanpa mempertimbangkan efektifitas, sehingga banyak rumah-rumah yang dibangun tidak layak huni, tidak diminati kaum pengungsi karena lokasi yang jauh dari tempat pencarian nafkah. Berapa banyak proyek-proyek yang “out of specification” baik dari ukuran maupun kualitas bangunan?
Kita sebagai makhluk Allah hanya memiliki 2 pilihan, selalu teringat pada tujuan hidup kita, sehingga kita selalu hidup pada pedoman kitab suci, dan selalu berjuang untuk melawan lupa atau Allah mengingatkan kita dengan bencana baru, yang barangkali lebih dahsyat dari Tsunami di Acheh.
Langganan:
Komentar (Atom)
