Masih ingatkah kita pada gempa bumi di Bom, Iran, tepat 26 Desember 2003 yang lalu? Kota yang telah dihuni oleh manusia berperadaban tinggi sejak ribuan tahun yang lalu. Kota tempat bertaburannya artefak bangunan arkeologis yang tak ternilai harganya. Hanya dalam hitungan detik, kerja keras manusia pensejarah yang ditoreh selama ribuan tahun tersebut luluh lantak dihantam gempa bumi dengan kekuatan sangat dahsyat. Kita telah lupa?
Masih ingatkah kita, ketika tepat ulang tahun gempa bumi di Bom Iran, juga tepat setahun yang lalu, mulai siang hari kita mendapatkan kabar yang simpang siur tentang kejadian gempa bumi di Propinsi Nanggroe Acheh Darussalam? Kabar yang semakin lama semakin jelas, tetapi sekaligus semakin lama semakin mencekam dada kita, dada saudara-saudara kita, dada seluruh masyarakat Indonesia, dan selanjutnya merembet menjadi keprihatinan seluruh masyarakat dunia.
Gempa bumi berkekuatan diatas 9 skala richter, terletak tidak jauh dari pantai barat propinsi NAD. Lokasi gempa di lepas pantai telah mengakibatkan gelombang tsunami yang menggulung-nggulung, menerjang sepanjang pantai Samudra Hindia! Hari demi hari perhatian kolektif kita disuguhkan pada angka-angka korban yang selalu bertambah tak terbendung, mayat-mayat bergelimpangan tak mampu terurus, orang tua yang berjalan mondar-mandir tak tentu arah tujuan, anak-anak yang tinggal sebatang kara, rekaman ulang hasil shooting video amatir yang sempat merekam kedahsyatan tsunami, keajaiban beberapa rumah ibadah yang selamat dari amukan, dan berbagai berita seputar bencana tersebut. Pendeknya sebulan, dua bulan lebih seluruh perhatian kita tercurah pada peristiwa tersebut.
Semakin hari kita semakin sadar bahwa bencana itu demikian dahsyat. Angka korban hingga diatas 200 ribu orang adalah setara dengan seluruh jumlah penduduk pada kota-kota skala sedang. Sepanjang catatan sejarah dunia, korban bencana alam sebanyak itu hanya dapat dihitung dengan sebelah jari! Kita semakin sadar bahwa keberadaan kita hanya karena kemurahan Sang Kuasa. Bagi Sang Kuasa, tidak susah untuk menjungkir balikkan tatanan peta dunia, segampang Sang Kuasa menciptakanNya.
Kita menjadi bangsa yang satu, berjuang bersama mengatasi derita pilu saudara-saudara kita di ujung negeri dengan penuh keikhlasan. Kita semua melupakan perbedaan suku, ras, kepentingan politik, perbedaan kekayaan, pandangan ideologi, perbedaan kewarganegaraan untuk bersama-sama menolong sahabat-sahabat kita yang terkena musibah.
***
Hari ini genap setahun kita memperingati musibah tersebut. Meskipun baru berlangsung satu tahun, nampaknya bencana itu bagaikan terjadi 10 abad silam. Pundi-pundi amal untuk bencana Aceh telah lama tutup, spanduk-spanduk posko sudah banyak yang lusuh –entah posko tersebut masih aktif, entah sudah tutup. Perhatian kita akan musibah itu sudah hampir tiada. Kembali kita dihadapi masalah-masalah baru yang tidak henti-hentinya menimpa bangsa kita. Hanya beberapa media masa yang memberitakan perkembangan rekonstruksi disana, dan itupun sudah tidak menjadi perhatian kita semua. Juga beritanyapun bukan berita prestasi, lebih banyak berita penyimpangan pengelolaan pasca bencana. Lebih parah lagi, telah banyak pelajaran-pelajaran mahal yang kita petik pada hari-hari pertama hilang tak bebekas. Kita kembali lupa pada tujuan hidup kita. Kita lupa kedahsyatan murka Allah. Kita lupa bahwa saudara-saudara kita masih belum sepenuhnya keluar dari masalah. Tenda-tenda darurat masih mengembang disana sini, jalan-jalan masih banyak yang belum tersambung, runtuhan bangunan masih berserakan. Kekecewaan atas penanganan rekonstruksi kembali menggema. Perasaan berkebangsaan Indonesia bagi masyarakat Aceh, pada beberapa liputan mulai mengendur kembali.
Sebagian dari kita telah memanfaatkan rekonstruksi tsunami menjadi pundi-pundi pengumpulan kekayaan yang tiada berbelas kasihan. Berapa puluh mobil mewah dan mobil sangat-sangat mewah - semacam limousine yang hanya lazim dimiliki oleh Bapak Presiden - masuk negeri ini lewat pintu berdalih rekonstruksi. Mobil mewah dengan berbagai macam fasilitas keringanan dan dispensasi bea masuk, ijin masuk, dan berbagai fasilitas keringanan lainnya. Berapa banyak LSM jadi-jadian yang mencari proyek disana? Berbagai lembaga resmi yang menggaji pejabatnya dengan standar nilai sangat tinggi. Berbagai perumahan semi permanen dibangun hanya berdasarkan order proyek, tanpa mempertimbangkan efektifitas, sehingga banyak rumah-rumah yang dibangun tidak layak huni, tidak diminati kaum pengungsi karena lokasi yang jauh dari tempat pencarian nafkah. Berapa banyak proyek-proyek yang “out of specification” baik dari ukuran maupun kualitas bangunan?
Kita sebagai makhluk Allah hanya memiliki 2 pilihan, selalu teringat pada tujuan hidup kita, sehingga kita selalu hidup pada pedoman kitab suci, dan selalu berjuang untuk melawan lupa atau Allah mengingatkan kita dengan bencana baru, yang barangkali lebih dahsyat dari Tsunami di Acheh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar