Kamis, 22 Mei 2008

Mirza Ghulam Ahmad

"Kamu juru ingat dari sisi-Ku. Aku mengutusmu agar memisahkan orang yang berdosa dengan orang yang berbuat baik." Tidak seperti ummat Islam mayoritas (yang menganggap Surat Al-Maidah ayat 3 sebagai wahyu pamungkas) Ghulam Ahmad memaklumkan bahwa dirinya telah menerima wahyu ke”nabi”an tersebut, sebagai kelanjutan tugas yang dibawa Nabi Muhammad.

Posisi lebih konkret tentang posisi Sang Imam dengan Nabi Muhammad disampaikannya sebagai berikut “Tidak perlu orang mengikuti semua Nabi dan semua Kitab terdahulu secara terpisah-pisah. Karena kenabian Muhammad saw. telah mencakup semuanya. Semua jalan tertutup kecuali hanya itu. Segala kebenaran yang bisa mengantarkan manusia mencapai Allah ada di dalamnya (di dalam Al-Quran). Tidak akan datang kebenaran baru sesudahnya dan tidak ada kebenaran sebelumnya yang tidak terkandung di dalam Al-Qur'an. Oleh karenanya, pada Nabi (Muhammad saw.) ini semua kenabian berakhir. Memang demikianlah hendaknya. Karena bagi sesuatu yang ada awalnya, tentu ada pula akhirnya. Tetapi pancaran berkah Nabi Muhammad saw. ini tidak berkurang. Bahkan di antara semua Nabi, berkah yang paling banyak ada padanya. Dengan mengikuti Nabi (Muhammad saw.) ini orang dapat mencapai Tuhan dengan cara yang sangat mudah.”

“Dengan mengikuti beliau, orang dapat memperoleh pahala yang lebih besar daripada yang diperoleh orang sebelumnya, yaitu kecintaan Allah Ta'ala dan dapat 'mukalamah mukhathabah,' (berwawan sabda dengan Allah). Tetapi pengikut beliau yang sempurna (kamil) tidak dapat hanya disebut Nabi. Karena ini berarti penghinaan pada Nabi sempurna Muhammad saw. Ya, dapat dibenarkan bila lafadh Ummati dan Nabi keduanya dalam perpaduan. Karena di sini tidak ada kesan peremehan terhadap Nabi sempurna Muhammad saw. Bahkan dengan berkah ini justru lebih memperjelas pancaran cahaya kenabian beliau “

Tatkala 'mukalamah mukhathabah' dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya telah mencapai puncak kesempurnaannya, di dalamnya tidak ada noda dan kekurangan dan secara jelas mengandung perkara-perkara ghaibiyah, itu dengan kata lain disebut kenabian, para Nabi sepakat atas itu. Singkatnya, mustahil umat yang dikatakan sebagai: “Kamu adalah sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk manusia” (QS Al Baqoroh 109) dan yang untuknya diajarkan doa ”Pimpinlah kami pada jalan yang benar. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan” (QS Al Fatihah ayat 5-6) seluruhnya terhalang dari kedudukan yang tinggi ini, dan tak ada seorang pun yang dapat mencapai kedudukan ini. Jika demikian keadaannya, keburukannya bukan hanya ummat Muhammad saw. bernoda, tidak sempurna dan semuanya seperti orang buta; melainkan juga merendahkan daya berkah Nabi Muhammad saw. dan menodai kekuatan suci beliau. Dengan demikian doa yang diajarkan agar dibaca dalam salat lima waktu pun sia-sia. Lebih dari itu, di sisi lain ada juga keburukan bahwa jika kesempurnaan ini dapat diperoleh seorang ummat secara langsung, tanpa mengikuti cahaya kenabian Muhammad saw. Maka makna qotamu-n nubuwwat (Penutup kenabian) menjadi batal.”

“Pendek kata untuk menyelamatkan dari kedua keburukan itu, Allah Ta'ala menganugerahkan 'mukalamah mukhathabah kamilah tammah muthaharah muqaddasiyah' (kesempatan dapat berwawansabda dengan Allah secara sempurna dan suci) kepada beberapa orang yang keadaan 'fana fi-r rosul' (lebur dalam Rasul)-nya telah mencapai puncak kesempurnaan, dan tidak ada tabir yang membatasinya. Dalam 'fanafi-r rosul' telah terkandung pengertian bahwa taraf keummatannya dan ketaatannya pada Rasul telah sempurna. Pada kondisi demikian,wujudnya bukan lagi sebagai wujudnya, melainkan pada cermin keleburannya merefleksikan wujud Nabi Muhammad saw. Disisi lain mereka mencapai 'mukalamah mukhathabah Ilahiyah' (dapat berwawansabda dengan Tuhan) secara sempurna seperti para Nabi.”

***
Pada bagian lainnya, Ghulam Ahmad menyampaikan kewajiban bai’at pada jama’ahnya: “Hendaknya sesepuh Jemaat yang mempunyai jiwa suci, mengambil bai'at atas namaku dari orang-orang sesudahku. Allah Ta'ala menghendaki, seluruh ruh yang ada dalam penduduk di berbagai belahan bumi, baik di Eropa maupun di Asia, semuanya yang memiliki fitrah baik, tertarik ke arah Tauhid dan semua hamba-Nya berhimpun dalam satu agama. Inilah maksud dan kehendak Allah Ta'ala, untuk itulah aku dikirim ke dunia ini. Maka ikutilah maksud ini! Tetapi hendaknya lebih mengutamakan dengan kehalusan, akhlak (luhur) dan doa-doa. Selama belum ada orang yang bangkit dengan menerima Ruhul Qudus, semuanya hendaknya bekerja bersama-sama sesudahku”

***

Inilah sekelumit ajaran Ahmadiyah, yang bagi kelaziman Ummat Islam dianggap sesat. Bila kita mundur kebelakang, kita akan belajar banyak tentang perjalanan agama-agama besar dunia. Dalam pelajaran sejarah tersebut, perpecahan selalu ditengarai berasal dari perbedaan pandangan politik. Protestan vs Katolik lahir dari perbedaan orientasi kekuasaan antara kekaisaran Roma dan Yunani.

Antara Syiah dan Sunni juga terkait dengan suksesi kehalifahan. Ali mengklaim menjadi pewaris tahta setelah menerima wasiat dari Nabi Muhammad sesaat menjelang Nabi wafat. Konon, Ahmadiyah lahir juga dari pengaruh Kerajaan Inggris yang ingin tetap berpengaruh di atas tanah jajahannya (India dan Pakistan).

Cukup menarik usulan Ketua Umum Muhammadiyah, mengapa tidak membikin agama baru saja? Barangkali usulan ini na’if, tetapi bisa saja menjadi alternatif utama, daripada harus mengangkat senjata diantara kita. Karena membelokkan suatu kepercayaan bagaikan menegakkan benang basah. (Sudarmono.Moedjari)

Tidak ada komentar: