Kamis, 22 Mei 2008

Jalan Tak Selamanya Lurus

Bagi pelajar maupun orang tua pelajar yang akan masuk ke SLTP, SLTA maupun perguruan tinggi, pekan-pekan ini menjadi pekan-pekan yang sangat penting. Diterima dimanakah? Berapa biaya yang harus dibayarkan? Mampukah saya (anak saya) melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi? Dan berbagai pertanyaan lainnya.

Selain biayanya relatif lebih sedikit, sekolah-sekolah negeri rata-rata diminati banyak pelajar. Selain itu, beberapa sekolah favorit –bisa negeri, bisa swasta- menjadi idaman setiap orang, meskipun harus dibayar dengan mahal. Bagi siswa yang pindah jenjang ke pendidikan SLTP pilihan hanya pada SMP mana yang paling unggul diantara SMP-SMP lain.

Untuk yang melanjutkan ke jenjang SLTA, pilihan mulai beragam. Kita mulai harus berhitung, apakah kita menjadi praktisi usai lulus SLTA, atau masih punya mimpi dan kemampuan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan memilih SMA. Sekolah kejuruanpun juga beragam. Ada yang berbasis ekonomi, teknik mekanika, elektronika, kimia dan sebagainya.

Ragam pilihan semakin beragam bagi kita yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Ada Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dengan beragam jurusan keahlian yang bisa diraih. Tinggal seberapa mampu kita menembus persaingan, atau seberapa besar kemampuan kita untuk membayar harga yang harus dibayar untuk meraih jalan menuju ke keberhasilan hidup.

Semangat boleh tinggi, cita-cita boleh dipasang setinggi bintang dilangit. Tetapi jalanan sejarah kehidupan harus dilalui dengan proses yang benar. Tidak selamanya jalan hidup berjalan dengan lurus, ada saja tikungan, tanjakan, jurang di kiri dan kanan yang harus dilalui. Cara meraih cita-cita tidak selamanya halal. Jangan sampai prinsip menghalalkan segala cara mulai dialirkan pada alur hidup ini. Sekali kita mencoba meng-intervensi alur hidup ini dengan cara-cara yang tidak halal, catatan hitam pada sejarah hidup kita mulai tertoreh. Dan catatan tersebut tidak akan bisa hilang sampai kita melakukan pertaubatan.

Pendidikan haruslah menjadi satu dalam iklim pembelajaran hidup. Pada sisi lain pendidikan bukanlah satu-satunya media dalam belajar dan meraih kesuksesan hidup. Banyak pintu mencapai kepandaian, banyak jalan untuk mencapai keberhasilan hidup dan pencapaian derajat kemanusiaan. Proses meraih bintang tak boleh dikotori dengan langkah-langkah culas, tidak memikirkan kesempatan orang lain yang lebih berhak, memanfaatkan “kekuatan” Bapak/Ibu/Kakek/Nenek/Oom diluar batas yang semestinya.

Bukankah kalau kita baca biografi Bapak Sugiharto, Menteri P-BUMN kita sekarang, lulus SMA pun harus diraih dengan susah payah dengan menjadi calo tiket film bioskop. Pendidikan tinggi yang Beliau laluipun juga tidak tergolong perguruan tinggi papan atas semacam UI, IPB, ITB, Unpad, UGM, ITS. Belaiu hanya lulusan Universitas Jayabaya, dan inipun dilalui ketika Beliau sudah mendapatkan gaji sendiri.

Ingatkah kita pada kedua proklamator kita? Baik Bung Karno dan Bung Hatta, mereka bukanlah sarjana ilmu politik, ilmu pemerintahan ataupun ilmu hukum! Secara teoritis, mereka yang memiliki ilmu inilah seharusnya memproklamasikan Republik Indonesia.

Sebaliknya, lihatlah karya arsitektur Bung Karno (sebagai arsitek komando) dalam Masjid Isiqlal! Kecuali ukurannya, apa yang luar biasa dalam desain masjid ini? Suram bila tanpa lampu, sejauh mata memandang didalam masjid hanya terlihat tiang kubah yang dominan. Pendeknya sebagai arsitek tidak banyak karya agung yang dihasilkan dari Bung Karno. Tetapi seluruh dunia mengakui, Beliaulah yang membangun “jembatan emas” kemerdekaan Republik Indonesia.

Jadi bila kita belum berhasil pada etape-etape dalam memilih jalan pendidikan. Jangan berkecil hati, kehidupan ini masih tetap berlangsung. Keberhasilan tidak ditentukan dari kita alumni mana. Tetapi lebih ditentukan bagaimana kita mensikapi hidup ini. Kerja keras, kejujuran dan nilai-nilai hidup yang unggul lainnya adalah segalanya.

Tidak ada komentar: