Kamis, 22 Mei 2008

Pesan Untuk Anak-anakku

Lambat atau cepat kau - anak-anakku - akan masuk dunia yang penuh dengan label globalisasi. Kita -secara sendiri-sendiri- pasti tidak akan mampu untuk membendung arus tersebut.
Wajar kita, dan saya sebagai orang tua "gamang" terhadap persiapanmu terhadap tantangan yang kau hadapi kelak.

Karena membendung sesuatu adalah hal yang mustahil, maka harus ada langkah-langkah antisipatif untuk "membentengi" dan "memperkuat" diri agar kau mampu tegak berdiri diatas budaya global tersebut.

Membentengi

Sekali lagi Membentengi! Harus kau lakukan karena tidak semua arus globalisasi sesuai dengan aqidah dan prinsip-prinsip hidup kita.

Isu-isu HAM, persamaan gender, penghapusan hukuman mati, liberalisasi, keterbukaan dan demokrasi (pada batas-batas tertentu), dll. tidak semua segaris dengan keimanan kita.
Siapa yang memberi hak pada kita, sehingga kita berani bilang dan menuntut Hak Azazi Manusia?

Apa harus peran wanita disamakan dengan pria, hanya gara-gara kedua insan memiliki kesetaraan dalam hidup? Mengapa kita menuntut sama?
Apa hak kita menolak hukuman mati yang menurut aqidah kita dibuka secara adil?
Apakah keterbukaan berarti mengobok-obok ruangan kamar tidur kita?
Apakah demokrasi menjadi mantra suci menuju kebahagiaan?
dll.

Memperkuat

Globalisasi menuntut "kompetisi" antar bangsa secara bebas, tanpa batas. Hanya mereka yang kuat yang bakal menang. Mau tidak mau kita harus mempersiapkan diri dalam pertarungan tersebut. Produktifitas, efisiensi, spirit, komunikasi, koordinasi (baca: jamaah) harus menjadi tradisi baru kita.

Produktifitas bagsa kita sangat rendah. Kita terbiasa "malas", dan banyak profesi dengan nilai tambah yang rendah.

Malas, untuk mengerjakan sesuatu yang harusnya bisa kita selesaikan sendiri, kita selalu mengandalkan orang lain. Bikin SIM membeli jadi (tidak mau ngurus sendiri), cuci piring oleh pembantu, jalan 200 meter saja harus mbecak atau ojek, dll.

Banyak profesi-profesi baru yang "mengganggu" produktifitas seperti: tukang parkir, pak "ogah", tukang becak, dll. Tukang parkir itu profesi yang tidak perlu. Kita saja yang kadang malas melihat spion, hingga perlu tukang parkir. Saya tidak anti tukang parkir, pak "ogah", dll, tetapi peran baru, profesi baru yang tidak searah dengan arus produktifitas, tanpa ada langkah antisipasi oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas adalah kezaliman dimasa mendatang.

Efisiensi.

Untuk mengambil suatu keputusan, kita seringkali mbelibet. Bikin visi, bikin misi, rapat kerja, bikin komisi ini, bikin team itu, rapat koordinasi ini, sidang komisi itu, sidang paripurna, etc. etc...waktu habis, kembali bikin visi baru, misi baru, dsl. dsl......waktu habis lagi, rapat lagi.......

Spirit.

Saat membaca episode pendudukan Iwojima dan Okinawa dalam Perang Pasifik, wah saya tidak bisa membayangkan.... kita bisa nggak meniru spirit juang yang demikian hebat dari bangsa Jepang? Dalam kondisi hampir kalah, bangsa Jepang masih menunjukkan spirit pantang menyerah. Dia bikin bunker-bunker bawah tanah, dan dia membuat perlawanan habis-habisan dari sana, sampai mati.... Kita juga barangkali pernah membaca kisah pembebasan Benteng Khaibar jaman Rasulullah, bagaimana Ali yang kelilipan harus memegang pedang komando untuk mendobrak benteng terkuat Bangsa Yahudi. Kita....... digertak sedikit sama AS saja sudah keder.......

Komunikasi

Kita harus berhadapan sama tinggi dengan Bangsa lain. Bahasa komunikasi harus dikuasai. Bahasa Inggris, Bahasa komputer (internet, blog, dsb), bahasa gaul, bahasa musik, bahasa matematika, bahasa peradaban,dll. Sengaja makna bahasa saya perlebar, karena kondisinya memang sudah global. Seorang asatidz yang dikirim ke AS karena jago bahasa Inggrispun sempat kagol ketika harus berkomunikasi via komputer.

Jama'ah
Kambing yang mencari rumput sendiri pasti dengan gampang dimakan serigala. Kolaborasi menjadi kata kunci baru, untuk memperebutkan kompetensi keummatan.

(Sudarmono.Moedjari, April 2007)

Tidak ada komentar: