Kamis, 07 Agustus 2008

Budaya Bersendikan Akhlakul Karimah (2)

Budaya, akal budi, pikiran manusia, memiliki dimensi yang sangat luas, menyangkut semua aspek kehidupan. Budaya lahir dari interaksi komponen-komponen kehidupan yang sangat panjang dan lama. Ilustrasi budaya Yogyakarta, Surabaya, Madura, dan Minang pekan kemarin menunjukkan contoh konkret perbedaan budaya antar wilayah, yang masing-masing wilayah memiliki parameter yang berbeda.

Budaya Yogyakarta, lahir dari pergumulan pasang naik pasang surut peranan raja-raja Jawa. Suksesi raja Jawa yang penuh dengan intrik, determinasi raja bagi “kaum kawulo” merupakan beberapa hal yang cukup berpengaruh bagi budaya tersebut. Gaya-gaya feodalistis sangat terasa bahkan sampai sekarang.

Suasana berbeda dialami oleh komunitas Surabaya. Tidak adanya pusat kerajaan yang cukup berpengaruh pasca Raja Airlangga menyebabkan masyarakat disini terasa sangat cair. Apalagi sejak lama kota ini telah dikenal sebagai kota industri. Sikap egaliter menjadi “trade mark” masyarakat Surabaya.

Ada banyak aspek budaya yang sering tidak disadari. Pertama, budaya tidaklah bersifat statis, tetap, dan tidak bisa diubah-ubah. Termasuk cabang kebudayaan yang bersifat adi luhung : kesenian. Budaya sangatlah dinamis, setiap hari kita cenderung berubah karena interaksi dengan lingkungan kita. Kehadiran media masa baru telah mempengaruhi kecepatan perubahan tersebut. Kesenian (terutama seni tari dan seni pertunjukan) juga selayaknya berubah. Kita seringkali masih menyaksikan pertunjukan seni tari dan seni pertunjukan ini masih sama persis dengan pertunjukan nenek moyang kita. Dampak nyata pada pandangan statis kebudayaan pada bidang seni pertunjukan adalah kekurangan greget pada tiap gebyak budaya, dan selanjutnya penonton menjadi tidak berminat, generasi muda juga tidak berminat dan ujungnya pelan tapi pasti seni pertunjukan tanpa apresiasi baru akan menuju “kepunahan”.

Kedua kita memiliki hak yang syah untuk menentukan, dan merubah arah budaya kita. Meskipun tidak selalu benar, inisiatif rekayasa budaya yang dilakukan Hitler untuk tlatah Jerman dengan melakukan pemilihan “bibit unggul” manusia Jerman dapat dipandang sebagai upaya meningkatan kualitas budaya Jerman untuk satu generasi kedepan.

Inisiatif pelestarian budaya masa lalu harusnya dianggap syah apabila memang budaya masa lalu tersebut seiring dengan jaman kini atau memang budaya masa lalu memiliki keunggulan nilai yang patut dipertahankan. Tidak selalu budaya masa lalu lebih adi luhung dengan budaya sekarang.

***

Kisah sukses rekayasa budaya yang paling monumental tercatat dalam sejarah manusia modern adalah transformasi masyarakat Arab jahiliyah menuju masyarakat Muslim. Nabi Muhammad saw. dengan bimbingan Allah swt dalam waktu kurang dari 1 generasi telah merubah tatanan kehidupan saling membunuh, pelecehan wanita, perbudakan akut, penafian hak-hak kaum miskin menjadi tatanan bangsa yang menghargai harkat sesama, taat azas, jujur, dan selalu taat pada acuan dasar berkeTuhanan. Prinsip dasar yang dijadikan acuan adalah Al-Qur’an sebagai UUD kehidupan dan tradisi Rasululloh (Hadits) sebagai petujuk pelaksanaannya. Inilah dasar-dasar ber-akhlakul karimah.

Dalam bulan Ramadhan ini, prinsip rekayasa budaya telah kita praktekkan secara nyata, dan masal. Dalam Ramadhan ini kita dilatih bagaimana berbudaya dengan baik, bagaimana parktek berinteraksi dengan sesama, berinteraksi dengan kaum miskin, kedisiplinan makan-minum, dan lain-lain. Andaikan langkah-langkah kita di bulan Ramadhan kita “copy paste” untuk bulan-bulan yang lain maka insyaAllah masyarakat berbudaya tinggi akan lahir di bumi pertiwi ini.


(Sudarmono Moedjari, Mantan Ketua HMI Cabang Surabaya 1986-1987, pemerhati budaya)

Tidak ada komentar: